Senin, 11 Januari 2010

REBORN - Bambang Adi Pramono

Seni Patung Bambang Adi Pramono

SETELAH TIGA DASAWARSA

Oleh Arif Bagus Prasetyo

BAMBANG Adi Pramono adalah perupa kelahiran Sidoarjo, Jawa Timur, 1955, yang telah lebih dari dua puluh tahun bermukim di Bali. Ia lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dan sempat menjadi dosen di almamaternya. Pekerjaan sebagai tenaga pengajar di kampus kemudian ditinggalkan, karena ia lebih tertarik menekuni karier profesional sebagai pematung, juga desainer dan konsultan desain di berbagai proyek. Bambang, antara lain, pernah bertahun-tahun menjadi desainer, konsultan dan instruktur program pembinaan kerajinan di berbagai daerah di Indonesia Timur. Sebagai konsultan dan desainer pula, ia pernah terlibat dalam renovasi “Indonesia Pavilion Expo Garden Kunming, China”; dan pembangunan “Monumen Veteran Pejuang Kemerdekaan RI Sumatera Utara” di Medan, Sumatera Utara. Sementara sebagai pematung, salah satu karyanya yang menonjol adalah “Monumen I Gusti Ngurah Rai” di kawasan Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali.

Sebagaimana dimaklumkan oleh judulnya, Pameran “Reborn” seolah menandai kelahiran kembali Bambang sebagai insan kreatif. Betapa tidak. Setelah absen sejak 2004, baru tahun kemarin karya patung Bambang kembali tampil di sejumlah pameran bersama. Untuk pameran tunggal, masa absen Bambang bahkan lebih lama. Pameran tunggal perdananya berlangsung pada 1981, hampir tiga dasawarsa silam. Baru sekarang ia berpameran tunggal lagi.

Tak syak lagi, kesibukan Bambang melayani permintaan pihak lain selama bertahun-tahun membuatnya tidak punya banyak kesempatan menciptakan karya-karya idealis yang semata-mata mengejar visi kreatif personal, sehingga ia harus ambil cuti panjang dari ruang pameran. Bekerja sebagai desainer maupun pematung dalam berbagai proyek pesanan, Bambang tentu tak bisa sepenuhnya bebas berkreasi. Ada kemauan, kepentingan dan standar kualifikasi dari pihak lain yang mesti dipatuhi, atau setidaknya diperhitungkan atau dinegosiasi. Ia tak mungkin mengekspresikan rasa dan karsanya sendiri secara total dan murni kreatif.

Pameran “Reborn” mengetengahkan karya-karya patung mutakhir Bambang yang, tentu saja, diciptakan sebagai ekspresi kreatif murni. Tanpa dibebani misi dan persyaratan yang dipatok pihak lain, Bambang mengejar misinya sendiri sebagai seorang seniman patung yang berkuasa menentukan syarat-syaratnya sendiri. Ia leluasa mengarungi langit imajinasi untuk memburu ilham kreatif, bergumul dengan konsep dan gagasan ideal, merumuskannya dalam rancang-bangun yang bebas dari agenda pragmatis, mewujudkannya sesuai standar kualifikasi yang ditetapkan sendiri, bahkan terjun langsung dalam proses produksi yang tak jarang melibatkan eksperimentasi.

Tak heran, karya-karya Bambang dalam pameran ini memancarkan semangat eksplorasi yang didorong oleh energi kreatif yang mengalir deras. Daya cipta yang terbendung selama tiga puluh tahun terakhir seolah menemukan kanal-kanal pelepasan kreatif, dan menubuh dalam bahasa artistik trimatra yang kaya makna dan ungkapan. Bambang bergulat dengan aneka pemikiran dan rangsang intuisi kreatif, lalu memahat kayu atau menempa logam, dua bahan utama karya patungnya.

Sebagian besar proses produksi karya memang dikerjakan oleh tangan Bambang sendiri, termasuk untuk patung-patung berbahan logam. Bambang mengaku sangat menikmati kerja fisik yang cukup berat dalam penciptaan patungnya, misalnya menempa logam atau mengolah permukaan logam, sampai ia puas dengan hasil akhirnya. Dalam proses kerja ini ia tidak sekadar membangun suatu konstruksi, melainkan juga bereksperimen, menjajal kemungkinan-kemungkinan yang muncul, menemukan efek-efek tak terduga yang berbeda antara satu patung dan patung lain. Sebuah proses yang tentu menambah nilai otentik dan eksklusif pada karyanya. Bambang terlahir kembali sebagai kreator yang mencipta, bergerak mewujudkan kreasi pribadi dan otonom, di tingkat konseptual maupun praksis. Reborn.

Bambang berkarya dengan menggunakan material konvensional: logam dan kayu. Namun bahan-bahan konvensional itu digarapnya secara kreatif, justru untuk menghadirkan ekspresi yang inkonvensional. Karya-karya mutakhir Bambang menyiratkan suatu idealisme untuk mereformasi citra populer tentang seni patung, dan lebih jauh lagi, meredefinisi hakikat patung. Sejumlah patung yang dipamerkan tampak menantang persepsi umum tentang apa yang lazimnya disebut sebagai “patung”. Lihatlah, misalnya, patung berwujud seonggok tangan yang terputus pada lengan (“Dejected”), lilitan bilah silindris aluminium (“Life Begins”), atau imitasi sepotong bagian berukir dari rangka rumah tradisional Jawa (“Heritage”). Bahwa patung tidak mesti berdiri atau berbaring, tapi bisa juga melayang atau menggelantung (“Dragon Mouth”, “Hanging Nest”). Bambang terkesan mengupayakan hadirnya suatu struktur, proporsi dan energi ekspresif yang baru. Ia menjelajahi kemungkinan-kemungkinan ekspresif baru yang mampu menempung kegelisahan kreatifnya sebagai seniman patung kontemporer. Dengan kepekaan artistik dan kekuatan gagasan yang dimilikinya, Bambang memperluas pengertian tentang “patung”.

Dalam karya-karya mutakhir Bambang, prinsip kestabilan desain, yang biasa melekat pada konstruksi monumen atau patung konvensional, seringkali digantikan dengan pencarian suatu kesetimbangan baru yang rawan. Ada kesan rawan yang membersit dari struktur-struktur trimatra yang rata-rata bertengger pada batang penyangga kecil. Melihat konstruksi patung “Heritage” atau “Dragon Mouth” yang seolah menyangkal hukum gravitasi, misalnya, muncul kesan bahwa kesetimbangan sajalah yang menahan patung-patung itu dari keambrukan. Kerawanan jenis lain diperagakan oleh patung “Torso”. Sepasang torso “kembar siam” yang bervolume cukup besar dalam karya ini nyaris tidak menyatu, hanya seperti menyerempet satu sama lain. Sebagai tambahan, “suasana rawan” kadang juga mengemuka secara tematis, misalnya dalam karya “Kekayon II: Rhythm in Chaos” yang menggemakan kerawanan sosial, atau karya “Love Wave” dan “The Last Summer” yang menggaungkan kerawanan ekologis.

Dalam mengonstruksi patung, Bambang tak segan-segan menangani ruang kosong sebagai elemen yang sama pentingnya dengan volume. Ruang sekitar dapat menembus atau meresapi massa pejal, menjadi bagian integral dari konstruksi keseluruhan sebuah patung. Rongga atau celah bukan sekadar areal kosong, melainkan juga “wujud” yang sama validnya dengan wujud patung itu sendiri. Eksplorasi spasial dengan prinsip “patung menembus ruang dan ruang menembus patung” tampak jelas dipraktikkan dalam karya-karya yang memainkan rongga seperti “The Muscle”, “Dragon Heart” dan “Reach It”. Dalam karya-karya semacam ini, praktis tak ada lagi batas yang tegas antara patung dan ruang kosong di sekitar patung.

Salah satu daya-tarik karya patung Bambang terletak pada tegangan dinamis antara unsur formal dan unsur diskursif, aspek stilistik dan aspek tematik, wujud dan pesan. Di sini gagasan berperan sangat penting, baik gagasan di ranah rupa maupun di ranah wacana. Hampir semua karya Bambang mengusung tema tertentu yang digali dari pengamatan dan pemikirannya tentang berbagi fenomena alam dan kebudayaan. Dalam niat kreatif Bambang, kayu atau logam nyaris tidak pernah berhenti sebatas wahana ekspresi murni, sarana manifestasi keindahan ideal belaka. Hampir selalu ada “narasi” di balik bentuk-bentuk artistik trimatra kreasi Bambang. Namun demikian, “narasi” ini tidak selalu transparan, bahkan kadang tidak terbaca secara visual, karena kuatnya interupsi pertimbangan-pertimbangan artistik formal.

Ambil contoh karya “Reach It” dan “Life Begins”. Tanpa membaca judul, pemirsa kemungkinan besar akan sulit menangkap pesan kehidupan yang ingin disampaikan Bambang dalam kedua patung itu, dan mungkin hanya memaknainya sebagai bentuk-bentuk patung abstrak eksperimental. Contoh lain, pada karya “The Muscle”, “narasi” bahwa patung ini diilhami oleh serat-serat otot (sebuah gagasan yang orisinal!) menjadi kurang berarti dibanding efek artistik yang muncul dari alunan ritme permukaan dan logika visual formal. Sementara pada karya “Torso”, citra tubuh manusia seakan lebur dalam sensasi gerak dari resonansi antara gelombang permukaan kayu dan riak-riak tekstur kayu. Patung berbentuk manusia ini jelas tidak mengangkat isu kemanusiaan.

Dalam karya-karya Bambang, gagasan di ranah rupa tampak cenderung lebih dominan daripada gagasan di ranah wacana. Tapi bukan berarti Bambang kurang memiliki perhatian terhadap isu-isu di luar persoalan rupa. Sejumlah karyanya yang menampilkan mimesis alam (misalnya patung berbentuk tumbuhan, pohon atau sarang burung) mengungkapkan pesan ekologis yang kuat. Kepekaan sosial tentang zaman yang kian akrab dengan kekerasan dan kekacauan diungkapkan secara simbolis dan dramatis dalam karya “Kekayon II: Rhythm in Chaos”; sementara karya “Heritage” menyuarakan keprihatinan tentang ancaman kepunahan warisan budaya tradisional. Kritik terhadap seksualitas pada zaman kontemporer, ketika seks telah terhalau dari ruang sakral dan bisa dinikmati dengan enteng bak hidangan pencuci mulut, disampaikan dengan nada humor dalam karya “Dessert”. Kekuatan gagasan Bambang di ranah rupa memberikan perspektif segar dan aksentuasi unik pada gagasannya di ranah wacana.

Dalam pameran ini, peragaan paling menarik dari paduan kekuatan gagasan rupa dan wacana terdapat pada serial patung naga. Berangkat dari keterpesonaan kepada Cina saat berkunjung ke sana beberapa tahun silam, Bambang mengeksplorasi sosok naga yang menyimbolkan spirit kultural masyarakat negeri Tirai Bambu yang mampu bangkit sebagai bangsa besar di muka bumi. Tapi uniknya, Bambang tidak menciptakan patung naga dengan mengacu pada gambaran umum tentang makhluk mitologis ini, melainkan mengolah elemen-elemen karakteristik naga (terbang, bergerigi, bertaring atau bercakar dsb) hingga menjelma jadi citra naga yang baru dan orisinal. Bentuk hati atau jantung naga (“Dragon Heart”), mulut naga (“Dragon Mouth”) atau penis naga (“Dragon Penishhh…”), besar kemungkinan tak pernah terbayangkan oleh siapa pun sebelum dilahirkan oleh imajinasi kreatif Bambang. Patung-patung “naga” karya Bambang meramu memori dan fantasi, mengawinkan model mitologis purba dan model rekayasa canggih (bahkan futuristis seperti karya “Dragon Mouth”), memadukan spiritualitas dan materialitas. Ke depan, serial patung naga Bambang masih sangat menjanjikan untuk dikembangkan lebih jauh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut