Sabtu, 29 Mei 2010

Opening "Super Heroes"

29 Mei 2010, sesuai jadwal, pameran bersama bertajuk "Super Heroes" di buka. Diantara mendung dan gerimis pukul 18.30 wita, pecinta seni tetap bersemangat untuk melihat karya - karya yang dipamerkan.



"Sebuah kemajuan kualitas yang pesat...." begitu komentar salah satu pecinta seni yang hadir.


Seniman - seniman muda mencari inspirasi dari setiap pagelaran.


Perbincangan tentan nilai karya terjadi diantara mereka yang hadir.


Hampir semua sudut ruang berpameran penuh oleh pecinta seni.


Setiap karya yang ditampilkan memiliki keunikan dan daya tarik sendiri membuat betah untuk berlama - lama menikmatinya.


Seniman, kolektor dan komunitas seni lainnya berbaur menjadi satu.


Audien begitu antusias melihat karya - karya yang ditampilkan oleh perupa -perupa muda potensian dari Bali


Bapak Paul Hadiwinata, Nico, Sutjipto Adi dan Arif Bagus Prasetyo


Bapak Sutjipto Adi memberikan sambutan pembukaan

Bapak Suctipto Adi menyalami semua seniman sebagai tanda pemeran secara resmi telah dibuka

Selasa, 18 Mei 2010

SUPER HEROES

SUPER HEROES

Oleh Arif Bagus Prasetyo


Pameran Superhero berangkat dari art project yang dimulai pada tahun lalu, ketika sejumlah pelukis muda diundang oleh Hanna Art Space untuk menciptakan karya bertema superhero. Proyek ini dimulai dengan pertanyaan sederhana yang dilontarkan kepada para pelukis terundang: apa makna superhero bagi mereka? Apa yang mereka bayangkan dan pikirkan saat mendengar istilah “superhero”? Para pelukis diminta memberi jawaban secara visual, dalam bentuk lukisan. Mereka dipersilakan melakukan penafsiran personal kreatif sebebas-bebasnya terhadap makna superhero. Mereka bebas merepresentasikan apapun yang menurut mereka relevan dengan wacana superhero. Para pelukis boleh terbang bebas di langit imajinasi masing-masing, menggagas dan berbicara apapun tentang superhero.

Proyek pameran ini sejak awal memang tidak mematok pengertian tertentu tentang istilah “superhero”. Justru sebaliknya, proyek ini menantang para pelukis agar berani membuka perspektif yang lebih luas dan menawarkan gagasan yang lebih segar perihal apa dan bagaimana superhero itu. Tujuan utama proyek seni rupa ini adalah eksplorasi kreatif terhadap superhero sebagai salah satu fenomena budaya massa yang memiliki daya pesona mendunia pada era kontemporer.

Sebagaimana ditunjukkan oleh Richard Reynolds dalam bukunya, Super Heroes: A Modern Mythology, figur populer yang dikenal sebagai superhero telah menjadi sosok yang tampil mencolok dalam arus-besar (mainstream) budaya modern. Superhero menghunjamkan pengaruh yang kuat dan makin besar pada masyarakat, moralitas dan politik. Begitu hebatnya pengaruh itu, hingga superhero seolah menjelma jadi mitologi modern. Mitos superhero berkembang-biak dan menyebar-luas dalam kebudayaan masa kini di muka bumi. Kajian Reynolds berpijak pada kehadiran superhero dalam sejarah buku komik di Amerika Serikat, yang telah mengorbitkan kreasi manusia-super sebagai simbol yang dimensi-dimensinya berhasil memuaskan tuntutan dan harapan khalayak ramai.

Pada umumnya, superhero didefinisikan sebagai tokoh rekaan, terutama dalam komik atau kartun, yang dianugerahi kekuatan luar-biasa atau kemampuan adikodrati untuk melindungi masyarakat dari bahaya dan kejahatan. Kata “superhero” sendiri sudah muncul setidaknya sejak 1917. Semenjak tokoh Superman muncul untuk pertama kalinya pada Juni 1938 dalam Action Comics 1 dan berhasil merebut hati publik, berbagai kisah superhero menguasai dunia perkomikan Amerika dan kemudian menyerbu media-media lain, misalnya film. Secara khusus, “Super Hero” dan “Super Heroes” adalah cap dagang yang dimiliki oleh DC Comics dan Marvel Comics, dua penerbit buku komik terkemuka Amerika yang memegang hak paten atas sebagian besar tokoh superhero yang paling kondang, paling berpengaruh dan mendunia.

Definisi umum superhero sebagai karakter komik Amerika tampak pekat membayangi sembilan perupa muda yang terlibat dalam Pameran Superhero: Gede Darmawan, Gusti Made Adi Kurniawan, Gusti Made Mahardika, Komang Agus Dharma Putra, Komang Sedana Putra, Komang Suarnata, Wayan Linggih, Made Somadita dan Ida Bagus Tilem. Karya mereka kebanyakan menampilkan tokoh-tokoh top superhero komik Amerika, seperti Superman, Batman, Spiderman, Hulk dan lain-lain. Karakter-karakter superhero Amerika ini dicitrakan secara “realistik” (sesuai gambaran orisinal superhero dalam komik atau film), atau direpresentasikan secara simbolis (dengan menampilkan lambang superhero tertentu, misalnya huruf “S” untuk Superman atau bentuk kelelawar untuk Batman), atau diparodikan. Pencitraan realistik mendominasi kanvas Gede Darmawan, representasi simbolis menjadi pilihan banyak pelukis, sedangkan parodi merajai karya-karya Komang Agus.

Karakter komik non-Amerika hanya muncul pada lukisan “Sweet Dream” karya Sedana Putra, yang menampilkan figur kartun Doraemon dari Jepang. Tokoh Doraemon sebenarnya sama sekali bukan superhero Jepang. Meskipun komik Jepang sangat populer di Indonesia, para pelukis ternyata tidak berminat mengangkat superhero Jepang, seperti Ultraman atau Ksatria Baja Hitam, dalam lukisan mereka. Sementara itu, tokoh fiksi tradisional Indonesia juga terlihat sekilas saja pada karya Adi Kurniawan (“Ice Super Cream”) dan Made Mahardika (“Help Bali”), yang menyelipkan tokoh pewayangan Gatot Kaca di antara para superhero mancanegara.

Patut dicatat, hubungan genetis antara superhero dan komik hanya tampil secara eksplisit pada lukisan Wayan Linggih (“Pahlawanku Tak Pernah Muncul”), yang memotret sosok lelaki setengah-tua sedang asyik menikmati komik Superman. Karya Linggih ini seperti menegaskan bahwa komik, yang sering dilecehkan sebagai hanya cocok untuk anak-anak dan kalangan semibuta-aksara itu, memiliki daya-tarik sangat besar hingga mampu menghipnotis orang dewasa. Dalam kata-kata Reynolds, “Diciptakan sebagai pahlawan buku komik, mereka [superhero] semakin dikenal luas melalui televisi, film dan (dalam kasus Batman dan Superman) lewat penampilan segar dalam budaya populer Amerika dan Eropa, yang memastikan kehadiran mereka disimak oleh jutaan orang yang belum pernah membaca komik Batman atau menonton film Superman.”

Di luar tokoh fiksi superhero, para perupa mengetengahkan figur-figur dari dunia nyata: pahlawan bangsa dan tokoh nasional (Sukarno dan Gus Dur dalam karya Komang Agus), kumpulan tokoh dunia (“Hero of The World” karya Adi Kurniawan), bahkan sosok ibu sang pelukis sendiri (“Wonder Woman” karya Made Mahardika). Membayangkan superhero, imajinasi para perupa juga melayang kepada sosok konyol pak guru SD Negeri (“Bukan Pahlawan Super” Komang Agus), tentara dan Garuda Pancasila (karya Komang Suarnata), flora (karya Tilem), dan fauna (karya Somadita). Lukisan Somadita, yang menampilkan adegan pertarungan berebut bola antara harimau dan banteng, sayup-sayup menggemakan alusi historis terhadap karya pelukis legendaris Raden Saleh. Sang Pelopor Seni Rupa Indonesia Modern juga dikenal suka melukis drama pertarungan yang melibatkan binatang buas, termasuk macan vs. banteng.

Menjadikan superhero sebagai subjek karya lukis tentu bukan sesuatu yang baru. Tokoh superhero sudah tampil dalam karya seni rupa bersama merebaknya Pop Art di Amerika Serikat pada awal dasawarsa 1960-an. Sebutlah, misalnya, karya Richard Pettibone berjudul “Flash” (assemblage in box, 1962-63) yang menampilkan figur superhero Flash, atau lukisan Mel Ramos bertajuk “Photo Ring” (oil on canvas, 1962) yang mengusung tokoh Batman. Ramos, sebagaimana dicatat oleh Nancy Marmer dalam esai “Pop Art in California”, “melukis para pahlawan dan pahlawati kawakan buku komik – Batman, Crime Buster, dan Glory Forbes-Vigilante – dengan niat tersurat untuk merayakan mereka secara langsung.” Sementara di Tanah Air, banyak perupa kontemporer pernah melukis tokoh superhero, terutama Superman. Salah satunya yang terkenal adalah Dede Eri Supria. Ketertarikan perupa Indonesia kepada superhero tidak terlepas dari kecenderungan utama seni lukis kontemporer yang menghidupkan-kembali, memperdalam dan memperluas khazanah Pop Art.

Dalam pameran ini, tafsir para perupa terhadap tema superhero sebagian besar bersandar pada penggalian kekuatan tanda-tanda melalui alegori dan apropriasi. Tokoh-tokoh superhero pada karya mereka adalah citra alegoris, yang tak lain hasil apropriasi terhadap figur superhero orisinal yang dirujuk. Para pelukis mengklaim citra superhero yang telah mapan secara kultural sebagai miliknya sendiri, dengan cara mengubahnya jadi sesuatu yang lain, baik di tataran bentuk maupun, terutama, isi. Mereka seolah mencabut sang superhero dari habitat semula, lalu melepasnya di lingkungan baru yang sepenuhnya dikontrol oleh perupa. Para pelukis tidak menghidupkan makna orisinal yang dimiliki oleh sang superhero, melainkan membubuhkan makna baru pada citranya. Makna baru ini bisa memperkaya, menyelewengkan, atau malah meniadakan makna yang semula melekat pada citra superhero. Pendek kata, mereka melakukan dekonstruksi makna superhero.

Melalui alegori dan aprosiasi, para perupa memanfaatkan citra superhero untuk berbicara tentang perkara-perkara yang menjadi pemikiran maupun keprihatinan personal masing-masing. Tokoh-tokoh superhero pilihan Gede Darmawan mempromosikan kesadaran ekologis. Paham cinta alam juga tersirat dari karya-karya Tilem. Kritik environmentalis yang nyaring disampaikan Made Mahardika dalam karya “Biarkan Tetap Hijau”, dengan menabrakkan panorama alam gersang dan citra logam industri. Kritik tentang dampak perubahan sosio-kultural yang melanda Bali diutarakan oleh Sedana Putra (“Transformasi Bali”) dan Made Mahardika (“Help Bali”). Karya-karya Komang Suarnata yang bercorak grafiti meyodorkan semacam perlawanan subaltern terhadap ideologi dominan dan nalar kekuasaan yang sarat kekerasan. Dengan senjata parodi yang menyengat, Komang Agus menjungkirbalikkan citra unggul superhero untuk melontarkan komentar sosial-politik kritis kontekstual.

Demikianlah, para perupa peserta Pameran Superhero menawarkan reinterpretasi makna superhero dengan berpijak pada medan permainan tanda-tanda yang merupakan ciri khas praktik seni rupa kontemporer. Karya mereka kiranya dapat menjadi semacam seismograf kultural untuk mengukur sejauh mana getaran mesin industri budaya populer global memasuki ruang-ruang imajinasi kalangan generasi muda kreatif dan terpelajar di negeri kita.

Pengikut