Selasa, 17 November 2009

Art(i)culation

Pameran Seni Rupa


Judul pameran : art[i]culation
Tanggal : 12 Desember 2009 - 12 Januari 2010

Tempat : Hanna Artspace - Bali
Kurator : Arif Bagus Prasetyo




Antonius Kho, White and Black 140 x 140 cm, mixed media on canvas 2009



Pameran seni rupa “Art[i]culation” menampilkan sepilihan lukisan karya para perupa yang memiliki reputasi terpuji. Mereka berasal dari berbagai generasi dan latar kultural-biografis. Tema dan corak karya mereka beragam. Para perupa tersebut dikenal aktif mewarnai panggung seni rupa Indonesia mutakhir.

Pameran ini dirancang untuk menyoroti sejumlah aspek yang menarik dari realitas seni rupa Indonesia kini. Seni rupa kontemporer Indonesia, sebagaimana tercermin dari lukisan-lukisan dalam pameran ini, menunjukkan aneka kecenderungan dan karakteristik. Para pelukis menyuarakan gagasan, rasa dan karsa mereka dengan wahana artistik pilihan masing-masing. Mereka mengeksplorasi imajinasi kreatif dengan berbagai ekspresi.

Namun demikian, kreativitas mereka tetap digerakkan oleh tanggapan dan sikap moral mengenai situasi politik, sosial dan budaya yang dilihat dan dihadapi. Proses kreatif mereka melibatkan pertemuan dan pergulatan kompleks antara faktor internal dan eksternal, rangsang objektif dan subjektif. Hasilnya adalah kreasi artistik yang mencerminkan intuisi personal dan sekaligus latar sosial, politis dan kultural para perupa tersebut. Mereka tidak hanya terpaku pada dunia seni rupa saja, tetapi juga peduli kepada peristiwa dan kecenderungan yang terjadi di tengah masyarakat dan budaya. Hubungan dengan realitas merupakan basis eksplorasi kreatif mereka.

“Art(i)culation” adalah suguhan pameran seni akhir tahun 2009 dari Hanna Artspace sekaligus menyambut harapan dari tahun baru 2010, dengan menampilkan karya-karya dari seniman 5 kota yang menjadi acuan kesenian di Indonesia, diantaranya: Sigit Santosa, Dyan Anggraeni, Gusti Alit, Lulus Santosa, Putu Sutawijaya, Wayan Cahya, Budi Ubrux, Entan Wiharso, Katirin, Nasirun, Ridi Winarno, Syahrizal Koto, Muhamad Rusnoto (Yogyakarta), Teguh Ostentrik, Neneng S. Ferrier, Yani Mariani Sastranegara, Ade Artie Tjakra (Jakarta), Tisna Sanjaya, Diyanto, Tiarma Sirait (Bandung), Ivan Haryanto, Djunaidi Kenyut, Anas Etan, Bilaningsih, Agung Tato (Surabaya), Antonius Kho, I Wayan Kun Adnyana, Nyoman Erawan ,Suklu, Sucipto Adi, Nyoman Sujana Kenyem, Sura Ardana, Bambang Adi Pramono, Nyoman Kardana, Diyano Purwadi, Nyoman Erawan and Ketut Teler (Bali).

Kami berharap event ini akan menjadi semacam happy ending 2009 untuk seluruh insan seni di Indonesia, sekaligus akan menjadi inspirator bagi pegelaran kesenian lainnya dikemudian hari.

Sukses untuk seni dan budaya Indonesia.

Arif B Prasetyo



Kun Adnyana, The Order Parlements, mix media on canvas, 2009


The “Art[i]culation” Art Exhibition presents the paintings by selected Indonesian contemporary artists. The artists participated in the exhibition belong to different generations of Indonesian artists who is actively coloring Indonesian art scene today.

Indonesian contemporary art, which is represented in this exhibition by paintings, shows various tendencies and characteristics. The painters articulate their ideas and concerns with any artistic tools they prefer to use. They explore their creative imagination in various mode of expression as different as the painstakingly realistic to the gestural abstraction. They raise loudly their engaging voices or submerge silently into the depth of their psyche.


Diyano Purwadi, sexy, 145 x 180 cm,acrylic drawing pen on canvas 2009

Nevertheless, their creativity is moved by moral responses and attitudes concerning social, political and cultural situations that are seen and faced. Their creative process involves complex encounters and struggles between internal and external factors, objective and subjective stimulus. The result is artistic creations that reflect the personal intuition of the artists as well as their geosocial, geopolitical and geocultural background.

“Art(i)culation” is an end year 2009 art exhibition from Hanna Artspace which by the same time dedicated to welcome prosperous hope of the coming year 2010, presenting works of artists from 5 major city who have been becoming art icon in Indonesia, namely: Sigit Santosa, Dyan Anggraeni, Gusti Alit, Lulus Santosa, Putu Sutawijaya, Wayan Cahya, Budi Ubrux, Entan Wiharso, Katirin, Nasirun, Ridi Winarno, Syahrizal Koto, Muhamad Rusnoto (Yogyakarta), Teguh Ostentrik, Neneng S. Ferrier, Yani Mariani Sastranegara, Ade Artie Tjakra (Jakarta), Tisna Sanjaya, Diyanto, Tiarma Sirait (Bandung), Ivan Haryanto, Djunaidi Kenyut, Anas Etan, Bilaningsih, Agung Tato (Surabaya), Antonius Kho, I Wayan Kun Adnyana,Nyoman Erawan, Suklu, Sucipto Adi, Nyoman Sujana Kenyem, Sura Ardana, Bambang Adi Pramono, Nyoman Kardana, Diyano Purwadi, Nyoman Erawan dan Ketut Teler (Bali).

After all, we expect that this exhibition could be a happy ending of 2009 to all Indonesian art communities and will bring up inspiration to the next coming art event.
Bravo…to Indonesian Art and Culture.

Arif B Prasetyo

Sabtu, 07 November 2009

KRONIK DUNIA BARU













KRONIK DUNIA BARU

Group Exhibition
Artist :Tatang BSp, Putu Gede Djaya, Made Somadita, Ketut Jaya (Kaprus)
Date : 15 – 28 November 2009
Venue : Hanna Artspace, Pengosekan, Ubud - Bali

Oleh Arif Bagus Prasetyo


SYAHDAN, modernitas menjanjikan Dunia Baru. Di dalam dunia itu, manusia dibayangkan sebagai pusat: subjek rasional yang merdeka untuk menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria kehidupannya di dunia. Dunia Baru menawarkan humanisme universal yang mengakhiri kegelapan jahiliyah dengan cahaya benderang akal-budi (reason).
Melalui ilmu pengetahuan, akal-budi membebaskan manusia dari penjara mitos, wahyu, maupun mekanisme kekuatan alam yang menguasai Dunia Lama. Akal-budi mengangkat manusia jadi Tuan, subjek yang merdeka dan berkuasa, satu-satunya spesies unggul yang sepenuhnya mampu menentukan diri (self-determination) dan menegakkan diri (self-affirmation) di dunia. Di Dunia Baru, manusia, dengan segala kemampuan rasionalnya, menahbiskan dirinya sendiri menjadi aku-subjek yang sentral dalam pemecahan masalah dunia, subjek otonom yang mengukir sejarahnya sendiri dengan tinta emas di lembaran Kitab Semesta. Dalam wawasan humanisme-rasional Dunia Baru, rasionalitas dijadikan ukuran tunggal kebenaran yang akan mewujudkan mimpi utopis manusia sebagaimana dijanjikan modernitas.
Modernitas diklaim sebagai rasionalitas jalan sejarah yang melesat lurus, atas nama kemajuan, ke “surga impian” di masa depan: tanah kebebasan manusia dan kemanusiaan yang bebas. Inilah Dunia Baru yang hendak diraih melalui proyek emansipasi universal, proyek pembebasan manusia dari belenggu irasionalitas. Namun ironisnya, seiring perjalanan waktu, realitas justru menunjukkan bahwa proyek emansipasi universal itu ternyata prospeknya semakin suram.
Ketimbang mewujudkan momen “turunnya surga di bumi” sebagaimana yang dijanjikannya, Modernitas justru kian mengalami apa yang digambarkan Jean-Francois Lyotard sebagai situasi “defaillancy”: kegagalan Modernitas untuk memenuhi janjinya. Aneka kejahatan kemanusiaan, terorisme dan krisis ekonomi, contohnya, adalah narasi-narasi realitas yang terus-menerus menyangkal keabsahan narasi emansipasi universal Modernitas yang mendewakan rasio.
Modernitas menjanjikan Dunia Baru yang cerah kepada manusia, tapi di balik janji itu, ada begitu banyak risiko yang dapat menjerumuskan manusia ke neraka kenistaan dan kehancuran. Inilah paradoks Modernitas: paradoks antara rasional dan irasional, kemajuan dan pengorbanan, ilusi dan realitas. Sebagaimana dikatakan Marshall Berman, “Menjadi modern berarti menemukan diri kita dalam lingkungan yang menjanjikan pengembaraan, kekuasaan, kesenangan, pertumbuhan, transformasi diri kita dan dunia kita – dan bersamaan dengan itu, ancaman untuk menghancurkan semua yang kita miliki, semua yang kita tahu, semua kita.”
Paradoks modernitas digambarkan dengan bahasa parodi oleh Tatang BSp. Dilihat dari ciri-ciri luarnya, figur-figur dalam lukisan Tatang adalah sosok manusia modern yang terpelajar, dari kalangan kelas-menengah urban. Mereka berpenampilan rapi, necis, berjas dan berdasi. Namun ironisnya, manusia-manusia modern yang mestinya memuliakan rasionalitas itu justru berperilaku irasional. Tingkah-laku mereka begitu aneh, sulit dipahami, tak mencerminkan berfungsinya akal-waras. Sebagai manusia modern, mereka adalah warga Dunia Baru yang “menjanjikan pengembaraan, kekuasaan, kesenangan, pertumbuhan, transformasi”. Tapi pada kanvas Tatang, dunia mereka ternyata sebuah dunia absurd yang menebarkan irasionalitas, bahkan kegilaan.
Dengan nada humor yang penuh sentilan kritis, karya-karya Tatang meledek doktrin rasionalitas yang dijunjung tinggi-tinggi oleh manusia modern. Tatang bahkan terkesan seperti tak percaya lagi bahwa proses-proses kehidupan masyarakat modern berjalan lurus mengikuti garis rasio. Simbolisme Tatang menyarankan skeptisisme ini. Segala kesibukan yang digeluti para manusia modern di kanvas Tatang, seolah tak terhindarkan lagi, meluncur fatal ke situasi irasional yang tak bermakna: dagelan politik praktis (“Selamat Pagi”), sirkus liberalisme ekonomi (“Greetings from Indoneolib”), pasar malam masyarakat konsumen (“Negeri Etalase”).
Modernitas menjanjikan emansipasi, tapi pada kenyataannya, emansipasi seringkali hanya slogan yang menopengi praktik dominasi. Pada masa kolonial, paham humanisme-rasional universal dijadikan dalih oleh bangsa kulit putih untuk menjajah bangsa kulit berwarna yang dianggap biadab, liar, setara dengan binatang. Bangsa kulit berwarna yang dianggap inferior harus ditaklukkan dan dibina menjadi warga beradab Dunia Baru oleh bangsa kulit putih yang merasa superior.
Pada era kontemporer dewasa ini, penjajahan bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit berwarna memang telah berakhir, tapi mitos superioritas kulit putih masih berlanjut. Kolonialisme fisik digantikan oleh kolonialisme kultural. Dengan supremasi politik dan ekonomi yang digenggamnya di panggung global, negara maju kerap “memaksakan” kriteria dan kepentingannya kepada negara berkembang, antara lain melalui politik-budaya yang didukung jaringan kapitalisme global. Bangsa kulit berwarna seolah baru sah menjadi warga Dunia Baru yang beradab jika mengadopsi selera, etika dan kemauan bangsa kulit putih. Dominasi inilah yang digugat oleh Putu Gede Djaya.
Dengan bahasa parodi bergaya komik, karya-karya mutakhir PG Djaya mempersoalkan praktik-praktik dominasi dan kekerasan terselubung yang berakar pada kecenderungan logosentrisme dalam tradisi filsafat metafisika Barat. Kecenderungan logosentrisme ini ditandai oleh beroperasinya logika oposisi biner: logika sosial, politik, ekonomi dan budaya yang dibangun oleh pasangan konsep yang berseberangan (pria/wanita, putih/hitam, Barat/Timur, modern/tradisional dst). Logika oposisi biner seringkali digunakan sebagai alat mempertahankan status quo kekuasaan. Dalam logika ini, konsep pertama dianggap sebagai pusat dan bernilai tinggi, sementara konsep kedua di seberangnya dipandang sebagai pinggiran dan bernilai rendah. Maka putih lebih bagus daripada hitam, pria lebih unggul daripada wanita, Barat lebih benar daripada Timur, modern lebih keren daripada tradisional dst.
Dalam lukisan “Haruskah”, PG Djaya mengkritik dominasi citra kecantikan wanita kulit putih terhadap wanita kulit hitam/berwarna. Figur wanita Bali yang bergumam “Haruskah aku pakai softlens untuk bisa maen film” menyentil prasangka kultural yang mengistimewakan ciri-ciri fisik wanita Barat (mata biru, kulit putih, rambut pirang) sebagai standar kecantikan universal. Sementara itu, lukisan “Ada Apa dengan Le Mayeur” menggugat dominasi ganda: dominasi pria terhadap wanita, sekaligus dominasi Barat terhadap Timur. Digambarkan figur Ni Polok, wanita Bali yang diperistri pelukis bule legendaris Le Mayeur, sedang memrotes keputusan suaminya yang melarangnya punya anak. Mayeur khawatir Polok akan kehilangan kecantikannya setelah melahirkan anak, sehingga tak bisa dipamerkan sebagai objek tontonan eksotis Timur kepada para turis Barat yang datang berkunjung.
Kisah ironis tentang Dunia Baru yang dijanjikan Modernitas, dituturkan secara simbolis oleh Made Somadita. Binatang-binatang dalam lukisan Somadita telah mengalami “emansipasi”, terbebas dari kegelapan rimba-belantara, dan menjadi warga sebuah Dunia Baru yang menyediakan status lebih tinggi. Para satwa itu mengenal bola, bahkan bisa bermain bola seperti layaknya manusia. Mereka dapat dibaca sebagai metafora tentang manusia modern yang beremansipasi dari kondisi biadab ke kondisi beradab. Namun demikian, mereka ternyata tak bisa lepas dari watak kebinatangan yang penuh kekerasan dan kebuasan. Taring, cakar dan tanduk yang tajam dan mematikan masih menjadi senjata utama untuk mengalahkan lawan atau pesaing. Fabel-fabel Somadita menyindir perilaku manusia modern penghuni Dunia Baru yang terperangkap oleh luapan hasratnya sendiri. Agresivitas mereka bukan didasari kebutuhan mempertahankan hidup, seperti margasatwa di hutan, melainkan didorong oleh gairah permainan, pencarian kesenangan dan kepuasan belaka.
Akhirnya, arus luapan hasrat yang menyapu dan menihilkan eksistensi manusia modern dilukiskan secara dramatis oleh Ketut Jaya. Dalam lukisan-lukisan Jaya, figur-figur tampak kehilangan bentuk, bercampur dengan katup-katup, pipa-pipa, tabung-tabung mirip moncong vacuum cleaner yang menyedot atau knalpot yang menyembur. Integritas manusia seakan porak-poranda diterjang gejolak energi purbawi yang meledak-ledak. Manusia bukan lagi pusat yang menerangi dunia dengan cahaya akal-budi, karena rasio telah ditelan oleh libido: lautan energi psikis yang memompa hasrat tanpa henti. Kanvas Jaya mementaskan ironi Dunia Baru di mana manusia takluk total di bawah kekuasaan hasrat dan tenggelam dalam setiap rangsangannya. Sebuah dunia reproduksi hasrat yang tak pernah terpuaskan dan tak pernah ada akhirnya.

Sabtu, 17 Oktober 2009

ADI'S SPELLING



DIGITAL PRINT EXHIBITION
by Adi Bachmann
Date : November 01 - 14, 2009
Place : Hanna Artspace





Alphabet in our life.



Maybe it is funny if we only see the outline of this exhibition's concept, Adi presents, as we re-member our first experiences reading the alphabet. When we were children, our teacher taught us one by one - so we could spell it right. We started to combine those letters and we created words first, than sentences - finally we where able to create statements with all expressions we wanted.
What Adi does, is not trying to be a teacher. Every letter he presents is a part of a voice from some one who really cares about what happens in this world. A-Z is a magnificent combination of "situations happen" all over the world, and which are packed in this exhibition. What I see is, that this is a really "knock knock" to our heart, our mind, our eyes - not only to enjoy the work one after one, but also to explore all the letters and combine them with our own "wishes" so that they can get a positive meaning and a positive hope for a better world and a better life.
Do we have to create our own spelling? The answer is all yours. The most important thing is: Let us combine all our positive minds and wishes; together we can work out a positive impact on our lives. It doesn't matter which one you spell.
The Hanna Art space team and I would like to say "Thank you so much" to Adi Bachmann for his trust to organize this great event in our Art space. Last, but not least we hope, all friends can enjoy the show. Good luck with "your Spelling" ... and with "Art for a better world".


Senin, 31 Agustus 2009

TERRORANCE TOLERISM







Solo Exhibition
Title : Terrorance Tolerism
Artist : I Ketut Teler
Date : 11 - 30 September 2009
Place : Hanna Artspace
Curator : Arif Bagus Prasetyo


Works by I Ketut Teler are inspired from his deep journey and fight to invent the essence of diversity (Kebhinekaan). "Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa" Unity in diversity, no truth with dualism. The difference in color, ideology and or clan sometimes raises a conflict. A conflict between going into or out of self, soft and hard, goodness and evil, afraid and brave, happy and sad, etc. the two non-separated sides but harmonized with tolerance (accepting diversity as power of life)














Selasa, 25 Agustus 2009

Hanna At Bazaar Art Jakarta




HANNA ART SPACE


Hanna Art Space adalah ruang kreativitas. Sebuah ruang yang mendukung dan menampung kreativitas perupa. Sejak awal berdirinya pada akhir 2008, Hanna Art Space memposisikan diri sebagai ruang alternatif bagi perupa untuk menampilkan hasil kerja kreatifnya secara elegan dan terorganisir kepada khalayak luas. Di bawah pimpinan pemiliknya, Paul Hadiwinata,Hanna Art Space menyediakan ruang yang representatif dan sistem manajemen yang rapi guna memfasilitasi kepentingan masyarakat seni rupa.
Sejak dulu sampai kini, seni-budaya adalah aset utama Bali. Berlokasi di Ubud, jantung seni-budaya di Bali, Hanna Art Space berupaya memberikan kontribusi nyata agar Bali tetap menjadi basis kreatif seni-budaya, khususnya melalui aktivitas seni rupa yang kontinu dan dapat dipertanggungjawabkan mutunya. Karena itu, Hanna Art Space membuka diri terhadap semua pihak, setiap upaya pewacanaan dan eksplorasi kreatif, yang bertujuan memajukan kehidupan seni rupa di Bali dan Indonesia pada umumnya. Sebagaimana terbukti dari delapan program pameran yang diselenggarakan selama ini, Hanna Art Space terbuka kepada perupa senior maupun perupa muda, perupa Bali maupun non-Bali, dan aneka ragam karya seni rupa (lukisan, patung, instalasi dsb). Hanna Art Space telah menjadi ruang presentasi kreatif para perupa Indonesia dan mancanegara yang tinggal di Bali maupun di luar Bali.
Hanna Art Space mendukung para perupa yang berbakat dan berdedikasi tinggi untuk terus mengasah kreativitas, dan mempromosikan karya mereka agar mendapatkan apresiasi yang makin baik dari publik. Dalam hal ini, Hanna Art Space tidak memandang perupa sebagai sekadar produsen yang menghasilkan benda seni untuk diperdagangkan. Perupa adalah mitra Hanna Art Space dalam berjuang demi kemajuan bersama. Hanna Art Space menyediakan fasilitas, akses informasi, relasi dan jaringan untuk perupa yang menjalin kerja sama dengan semangat kejujuran, keterbukaan dan keseimbangan. Hubungan yang dikembangkan dengan perupa adalah hubungan simbiosis mutualisme yang bernuansa apresiatif, mengedepankan saling pengertian antara perupa sebagai kreator seni dan Hanna Art Space sebagai mediator seni. Hanna Art Space dan perupa bekerja sama memberikan yang terbaik untuk publik seni rupa.
Tak dapat dipungkiri, kekuatan pasar berpengaruh besar pada dinamika kehidupan seni rupa. Dalam iklim seni rupa yang didominasi kekuatan pasar seperti sekarang ini, Hanna Art Space tidak ingin sekadar melayani selera pasar, melainkan berupaya membina, meningkatkan dan memperluas apresiasi pasar. Melalui program pameran dan kuratorial, promosi dan sosialisasi karya, serta kerja sama aktif dengan perupa, Hanna Art Space ingin menjaga martabat karya seni rupa sebagai karya budaya. Karya seni rupa bukan semata-mata barang dagangan. Apresiasi kepada nilai komersial karya seni rupa harus berjalan seiring dengan apresiasi kepada nilai kulturalnya.
Hanna Art Space bertekad menjalankan fungsinya sebagai lembaga kultural dan lembaga komersial sebaik mungkin.

Arif Bagus Prasetyo, Kurator Hanna Art Space

Selasa, 28 Juli 2009

NENG NONG NENG PUR


6 EKSPRESI DALAM HARMONI

judul pameran : neng nong neng pur
seniman : ida bagus alit, sura ardana, gohouen toshi, yasco kanehira, ipphing, yun ming
tempat : hanna artspace
opening : 9 agustus 2009
kurator : arif bagus prasetyo

Oleh Arif Bagus Prasetyo


Pameran “Neng Nong Neng Pur” menampilkan sepilihan lukisan karya Ida Bagus Alit, Sura Ardana, Yung Min, Ipphing, Yasco Kanehira dan Gohouen Toshi. Keenam perupa ini sama-sama tinggal dan berkarya di Bali, tapi masing-masing memiliki latar-belakang kultural yang berbeda. Ida Bagus Alit dan Sura Ardana adalah orang Bali. Yung Min dan Ipphing adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Sedangkan Yasco Kenehira dan Gohouen Toshi berasal dari Jepang.
Enam perupa dengan aneka latar-belakang kultural sepakat memilih ungkapan yang unik, “Neng Nong Neng Pur”, sebagai judul pameran mereka. “Neng Nong Neng Pur” adalah sebuah onomatopoeia yang menirukan bunyi orkestra tradisional gamelan Bali. Dalam sebuah orkestra, keindahan musikal dibangun oleh harmoni unsur-unsur bunyi yang berbeda antara satu sama lain. Beragam alat musik dengan kekhasan bunyinya masing-masing dimainkan secara kolektif dan harmonis, menghasilkan irama yang enak dinikmati.
Demikian pula spirit pameran ini. Pameran “Neng Nong Neng Pur” mengetengahkan karya-karya yang membawakan estetika dan kecenderungan artistik personal masing-masing perupa. Lukisan setiap perupa berlainan dalam hal konsep, tema maupun gaya. Namun mereka dipersatukan oleh semangat kebersamaan yang mengatasi perbedaan. Pameran “Neng Nong Neng Pur” mempromosikan perbedaan sebagai kekuatan yang produktif dan inspiratif. Analog dengan orkestra gamelan Bali, pameran ini ingin mengajak publik untuk mengapresiasi keragaman.
Ida Bagus Alit menampilkan lukisan-lukisan abstrak yang diilhami oleh sarad, sesaji tradisional Bali yang terbuat dari kue-kue besar yang melambangkan isi dunia. Sebagaimana sesaji sarad, kebanyakan lukisan Alit menyemburkan keramaian dinamika warna yang cerah, meriah dan atraktif. Menariknya, sarad justru mempesona Alit ketika sesaji itu sudah tidak utuh lagi bentuknya. Alit tertarik kepada fenomena sarad yang sudah hancur berantakan, tinggal puing-puing berserakan usai upacara keagamaan Hindu-Bali. Diilhami sisa-sisa sesaji sarad, lukisan abstrak Alit menggemakan filosofi tradisional Bali mengenai Rwabhinneda, dialektika prinsip-prinsip yang bertentangan.
Dalam lukisan-lukisan Alit, ada gelombang energi ekspresif yang spontan dan bergejolak. Sifatnya chaotic. Namun di sisi lain, kanvas Alit juga menyuguhkan struktur rupa yang terkontrol. Spontanitas ekspresi diimbangi dengan kecenderungan menghias, meracik pernik ornamentasi. Kecenderungan dekoratif ini tampak pada penggambaran motif-motif atau pola-pola yang berulang dan mengalir, mengisyaratkan suatu tata universal yang mengatasi ketidakteraturan partikular. Sifatnya integratif. Carut-marut elemen rupa membentuk konfigurasi yang padu. Seakan ada daya ritmis yang menstabilkan anasir-anasir kekacauan dalam sinergi harmonis.
Melalui disiplin seni lukis realisme, Sura Ardana menjelajahi gagasan tentang kelapukan. Sejumlah lukisannya mengetengahkan citra kelapukan alami, seperti wajah keriput nenek tua, kerak nasi sisa dan kayu papan lapuk. Namun demikian, Ardana juga tampak memaknai kelapukan pada tataran simbolis. Semacam “kelapukan sosial” tersirat dari subjek utama lukisan yang umumnya merefleksikan dunia masyarakat miskin, kalangan bawah yang melapuk digerogoti beban ekonomi. Kerak nasi sisa adalah makanan pokok rakyat papa yang tidak mampu membeli beras. Raut wajah nenek tua terlihat begitu memelas dan menderita, jelas bukan potret seseorang yang berkecukupan dan menghabiskan hari tua dengan tenang. Fenomena kemiskinan sebagai tanda kelapukan sosial juga ditegaskan dengan menyoroti sandal jepit, objek populer yang biasa diasosiasikan dengan kaum tak berpunya.
Ardana bukan saja menafsirkan kelapukan dalam konteks ruang pengalaman (space of experience), tetapi juga dalam konteks pengalaman ruang (spatial experience). Sejumlah karyanya menampilkan gambaran realitas yang ditinjau dari sudut-pandang vertikal, menyarankan perbedaan posisi antara pengamat dan objek pengamatan. Kadang Ardana memotret pada posisi yang lebih tinggi daripada objek. Ada kalanya ia memotret pada posisi begitu rendah, sehingga lukisan hanya memperlihatkan bagian bawah objek. Ardana seolah menyatakan bahwa fenomena kelapukan, terlebih kelapukan sosial, berhubungan dengan posisi tinggi-rendah atau atas-bawah yang menyiratkan relasi kekuasaan tertentu.
Bahasa visual realisme juga digunakan Ipphing untuk menyampaikan komentar sosial maupun renungan personal. Wacana lukisannya berpusat pada dialektika antara kelampauan dan kekinian. Dialektika ini dielaborasi melalui narasi-narasi visual yang menyiratkan tegangan antara dulu dan sekarang, situasi sebelum atau sesudah.
Dalam karya “Watching”, Ipphing menggambarkan figur anak berpakaian modern yang menyibakkan tirai lukisan tradisional Bali gaya Kamasan. Di sini dialektika kelampauan-kekinian ditampilkan sebagai kontras antara tradisi dan modernitas. Dalam lukisan “Loyalty”, Ipphing mengontraskan citra seekor anjing yang setia kepada dua-sejoli lansia dan deru perubahan yang mengubah wajah kota. Perubahan situasi dulu dan sekarang juga dapat mengakibatkan kebangkrutan dan kemerosotan, sebagaimana tersirat dalam karya “Before Bomb Bali” dan “Fake Budha”. Gerak progresif waktu dengan segala konsekuensinya adalah persoalan penting yang coba dipahami Ipphing melalui pencarian kreatif di ruang spasial.
Seni lukis Yung Min merefleksikan visi pencarian harmoni di balik kompleksitas alam lahir dan batin. Visi ini diekspresikan Yung Min melalui eksplorasi berbagai motif ragam hias. Selain berfungsi menghidupkan ruang, aspek dekoratif lukisan Yung Min menggemakan prinsip harmoni struktural dan kultural.
Lukisan Yung Min bercorak semi-abstrak. Figur manusia atau citra realistik lainnya berpadu dengan struktur abstrak yang pelik tapi plastis dan organis, serupa sel yang diperbesar jutaan kali atau alur gelimang minyak pada permukaan air. Struktur abstrak dalam lukisan Yung Min mengingatkan kepada sistem anatomi internal di tingkat mikroskopis dengan jaringannya yang renik dan bercabang-cabang. Gugusan citra abstrak mengalun ritmis-meditatif, menyiratkan pola-pola pengendalian aliran energi fisik maupun psikis.
Karya lukis Yung Min menyingkapkan momen transformatif ketika yang labil menjadi stabil, yang kacau menjadi tertib, chaos menjadi cosmos. Sebuah refleksi dari pencarian harmoni yang terbentang meliputi dunia-luar (outer world) dan dunia-dalam (inner world), alam sekala dan niskala, makrokosmos dan mikrokosmos.
Yasco Kanehira memberi penekanan kuat pada sifat aktif dan seketika dari proses penciptaan lukisan. Proses melukis menjadi simbol eksistensial dari pergulatan Yasco dalam memahami realitas dirinya. Temperamen dan watak sang pelukis, suka-cita dan duka-laranya, terlampiaskan dengan serta-merta pada permukaan kanvas.
Gerak kreatif Yasco berorientasi pada refleksi-diri. Yasco mensublimasikan pengalaman-pengalaman hidupnya yang sangat personal, kemudian meledakkannya dalam keliaran ekspresi visual. Penciptaan lukisan menjadi upaya kontinu untuk melakukan pemaknaan atas segi-segi kehidupan privat sang seniman. Carut-marut bahasa visual Yasco memberi bentuk bagi dinamika konflik batin yang berlangsung di sepanjang proses refleksi-diri. Dunia visual di atas kanvasnya memiliki relasi langsung dengan dunia batin dan pikiran sang seniman yang terus bergolak dan mengalir tanpa henti. Gairah kreatif Yasco diliputi ketegangan antara ekstase petualangan bebas, dan kebutuhan untuk merumuskan petualangan itu menjadi sesuatu yang bermakna.
Gohouen Toshi menampilkan lukisan-lukisan kaligrafi yang ditimba dari pengalaman mistisnya ketika bersentuhan dengan misteri ilahiah. Karya kaligrafi Toshi merefleksikan kontak spiritual antara kreator dan Kreator (dengan K besar), momen-momen mistis peleburan diri sang pelukis ke dalam hakikat Sang Maha Pencipta yang kekal dan universal. Jejak dari kontak spriritual ini kadang digoreskan Toshi dalam satu tarikan nafas yang mantap (“Kyoto Green”, “Primitive Attack”), kadang meletup-letup di ambang sadar (“Karma”), kadang mengalir ritmis dalam nafas panjang (“Incantation”, “Kami”).
Pengalaman mistis termasuk jenis pengetahuan intuitif yang tak dapat dideskripsikan menggunakan bahasa normal. Kaligrafi, dengan kepekaan spesifiknya terhadap simbol, adalah bahasa visual yang berpotensi menyingkapkan secercah dimensi rahasia ilahi yang tak terjangkau nalar. Seni kaligrafi Toshi menembus batas bahasa dalam mengungkapkan pengalaman mistis personal kepada khalayak umum.




Jumat, 19 Juni 2009

Sculpture Exhibition by Keiji Ujiie

Title : Continental Mother
Date : 11-30 July 2009
Venue : Hanna Artspace, Jl. Pengosekan, Ubud, Bali
Artist : Keiji Ujiie










To initiate a new era of creative expression in Ubud, Bali, has been a cherished aspiration for International artiste, Keiji Ujiie. Relocating in January 2007 to Nyuh Kunning, south of Ubud, has given birth to this heart felt desire. Born in Japan in 1951, the sculptor/landscape Architect has successfully accumulated a 25 year body of artistic work to his credit. Typically monumental, large scale works located over sweeping landscapes, city building courtyards and public parks are home to some of his projects. Not only in Japan, but also in Mexico, Belgium, Lebanon and more recently in Sanur, Bali. Continental Mother' is Keiji's debut solo exhibition in Bali, Indonesia. Commencing on the 11 th until the 31 st of July, Hanna Artspace in Ubud, Bali will exhibit 22 sculptures produced over the 2008-09 period. The concept of 'Continental Mother' is his expression of the Balinese landscape. Preferred indigenous materials of choice are Javanese Limestone, Marble and Granite


At home, in his open terrace studio situated overlooking rice fields and the Hindu temple, Pura Dalem, Keiji takes much inspiration. Constant is the trade wind blowing through the fields. Clouds drift gracefully across his vista. The seasonal changes of growth and harvest, the fields of green then returning to open bodies of water. Native birds feed on the crops and ducks tend to the fields. Here there is continuous sensory stimulation. The essence of rural Bali and its cycles of life emit a magical healing quality. “I love to absorb this enduring peace”, says Keiji, “It is an essential part of my creative process.” In silent contemplation he consumes this nurturing energy. This then translates into artistic expression. 'Continental Mother' evolved initially as a mental concept. Keiji deploys no models, studies or sketches throughout this work, using the 'direct carving' technique. He must first venture into the hard substance working his way in to expose the spirit of the stone. Then able to work outwards, he exposes new life. Each individual stone has its own unique feeling retained within its grains and structure. Intuitively Keiji responds to the feeling he receives, through physical intent, form then becomes coherent.
Five individual 'Continental Mother' pieces, 600mm x 400mm in dimension, are the 'stars'of his show. The Javanese Limestone beautifully contains the spatial geometries. Arched legs spread powerfully, mimic some sort of earthly 'rainbow'. Beautifully portioned torsos support full bulbous breasts; emerging like mountains growing up to cosmos. Protruding nipples point skyward, like eyeballs focused on the heavens. The off white Limestone's grain is hand finished smooth, yet remains unpolished, almost glowing, like tender skin, radiating a 'virgin' like quality.
Geometry is the universal language of mathematics; therefore by law of nature all geometries conduct and transmit energy. The bulk of these voluptuous shapes resonate strength and power. His creations manifest into the figurative form. “Rarely if ever do I explore the human form! This is a direct influence of working in Bali; here there is a different spiritual energy. I never get this image in Japan.” confessed Keiji.From 'Mother Gaia' he draws frequencies and via the 'Father' in heaven perceives a language, then through his heart he translates. “The sculptures body is my heart.” revealed Keiji. He part takes in a divine relationship. This is the 'Holy Trinity'. The Mother, the Father and the Divine Child.Therefore it is the human heart, 'The Divine Child', the essential catalyst, through then which and an Alchemy may exist. Accompanying 'Continental Mother' are 17 'trophy' pieces, 400mm x 200mm in dimension, varying from abstract through to figurative form. Barong'; the unique hard Balinese Hindu mystical representation of all that is benevolent in our universe. This sculpture is Keiji's first experience using traditional Balinese sculpting tools. 'God of Rice', honors the cultural significance of rice in daily Balinese rituals and life. 'Topeng' inspired by observing the Master Balinese dancer, Made Djimat. The Javanese marble has qualities, the movement and power of his dance transfers harmoniously into this stone. Keiji likes to travels the world visiting countries/sites that mirror his idea of spirituality. His recent work reflects the essence of Bali, his work is akin to a meditation. It is Keiji's intent that a spiritual energy radiates from within his creations.


By Richard Horstman. 10th June 2009.



Pengikut