6 EKSPRESI DALAM HARMONI
judul pameran : neng nong neng pur
seniman : ida bagus alit, sura ardana, gohouen toshi, yasco kanehira, ipphing, yun ming
tempat : hanna artspace
opening : 9 agustus 2009
kurator : arif bagus prasetyo
Oleh Arif Bagus Prasetyo
Pameran “Neng Nong Neng Pur” menampilkan sepilihan lukisan karya Ida Bagus Alit, Sura Ardana, Yung Min, Ipphing, Yasco Kanehira dan Gohouen Toshi. Keenam perupa ini sama-sama tinggal dan berkarya di Bali, tapi masing-masing memiliki latar-belakang kultural yang berbeda. Ida Bagus Alit dan Sura Ardana adalah orang Bali. Yung Min dan Ipphing adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Sedangkan Yasco Kenehira dan Gohouen Toshi berasal dari Jepang.
Enam perupa dengan aneka latar-belakang kultural sepakat memilih ungkapan yang unik, “Neng Nong Neng Pur”, sebagai judul pameran mereka. “Neng Nong Neng Pur” adalah sebuah onomatopoeia yang menirukan bunyi orkestra tradisional gamelan Bali. Dalam sebuah orkestra, keindahan musikal dibangun oleh harmoni unsur-unsur bunyi yang berbeda antara satu sama lain. Beragam alat musik dengan kekhasan bunyinya masing-masing dimainkan secara kolektif dan harmonis, menghasilkan irama yang enak dinikmati.
Demikian pula spirit pameran ini. Pameran “Neng Nong Neng Pur” mengetengahkan karya-karya yang membawakan estetika dan kecenderungan artistik personal masing-masing perupa. Lukisan setiap perupa berlainan dalam hal konsep, tema maupun gaya. Namun mereka dipersatukan oleh semangat kebersamaan yang mengatasi perbedaan. Pameran “Neng Nong Neng Pur” mempromosikan perbedaan sebagai kekuatan yang produktif dan inspiratif. Analog dengan orkestra gamelan Bali, pameran ini ingin mengajak publik untuk mengapresiasi keragaman.
Ida Bagus Alit menampilkan lukisan-lukisan abstrak yang diilhami oleh sarad, sesaji tradisional Bali yang terbuat dari kue-kue besar yang melambangkan isi dunia. Sebagaimana sesaji sarad, kebanyakan lukisan Alit menyemburkan keramaian dinamika warna yang cerah, meriah dan atraktif. Menariknya, sarad justru mempesona Alit ketika sesaji itu sudah tidak utuh lagi bentuknya. Alit tertarik kepada fenomena sarad yang sudah hancur berantakan, tinggal puing-puing berserakan usai upacara keagamaan Hindu-Bali. Diilhami sisa-sisa sesaji sarad, lukisan abstrak Alit menggemakan filosofi tradisional Bali mengenai Rwabhinneda, dialektika prinsip-prinsip yang bertentangan.
Dalam lukisan-lukisan Alit, ada gelombang energi ekspresif yang spontan dan bergejolak. Sifatnya chaotic. Namun di sisi lain, kanvas Alit juga menyuguhkan struktur rupa yang terkontrol. Spontanitas ekspresi diimbangi dengan kecenderungan menghias, meracik pernik ornamentasi. Kecenderungan dekoratif ini tampak pada penggambaran motif-motif atau pola-pola yang berulang dan mengalir, mengisyaratkan suatu tata universal yang mengatasi ketidakteraturan partikular. Sifatnya integratif. Carut-marut elemen rupa membentuk konfigurasi yang padu. Seakan ada daya ritmis yang menstabilkan anasir-anasir kekacauan dalam sinergi harmonis.
Melalui disiplin seni lukis realisme, Sura Ardana menjelajahi gagasan tentang kelapukan. Sejumlah lukisannya mengetengahkan citra kelapukan alami, seperti wajah keriput nenek tua, kerak nasi sisa dan kayu papan lapuk. Namun demikian, Ardana juga tampak memaknai kelapukan pada tataran simbolis. Semacam “kelapukan sosial” tersirat dari subjek utama lukisan yang umumnya merefleksikan dunia masyarakat miskin, kalangan bawah yang melapuk digerogoti beban ekonomi. Kerak nasi sisa adalah makanan pokok rakyat papa yang tidak mampu membeli beras. Raut wajah nenek tua terlihat begitu memelas dan menderita, jelas bukan potret seseorang yang berkecukupan dan menghabiskan hari tua dengan tenang. Fenomena kemiskinan sebagai tanda kelapukan sosial juga ditegaskan dengan menyoroti sandal jepit, objek populer yang biasa diasosiasikan dengan kaum tak berpunya.
Ardana bukan saja menafsirkan kelapukan dalam konteks ruang pengalaman (space of experience), tetapi juga dalam konteks pengalaman ruang (spatial experience). Sejumlah karyanya menampilkan gambaran realitas yang ditinjau dari sudut-pandang vertikal, menyarankan perbedaan posisi antara pengamat dan objek pengamatan. Kadang Ardana memotret pada posisi yang lebih tinggi daripada objek. Ada kalanya ia memotret pada posisi begitu rendah, sehingga lukisan hanya memperlihatkan bagian bawah objek. Ardana seolah menyatakan bahwa fenomena kelapukan, terlebih kelapukan sosial, berhubungan dengan posisi tinggi-rendah atau atas-bawah yang menyiratkan relasi kekuasaan tertentu.
Bahasa visual realisme juga digunakan Ipphing untuk menyampaikan komentar sosial maupun renungan personal. Wacana lukisannya berpusat pada dialektika antara kelampauan dan kekinian. Dialektika ini dielaborasi melalui narasi-narasi visual yang menyiratkan tegangan antara dulu dan sekarang, situasi sebelum atau sesudah.
Dalam karya “Watching”, Ipphing menggambarkan figur anak berpakaian modern yang menyibakkan tirai lukisan tradisional Bali gaya Kamasan. Di sini dialektika kelampauan-kekinian ditampilkan sebagai kontras antara tradisi dan modernitas. Dalam lukisan “Loyalty”, Ipphing mengontraskan citra seekor anjing yang setia kepada dua-sejoli lansia dan deru perubahan yang mengubah wajah kota. Perubahan situasi dulu dan sekarang juga dapat mengakibatkan kebangkrutan dan kemerosotan, sebagaimana tersirat dalam karya “Before Bomb Bali” dan “Fake Budha”. Gerak progresif waktu dengan segala konsekuensinya adalah persoalan penting yang coba dipahami Ipphing melalui pencarian kreatif di ruang spasial.
Seni lukis Yung Min merefleksikan visi pencarian harmoni di balik kompleksitas alam lahir dan batin. Visi ini diekspresikan Yung Min melalui eksplorasi berbagai motif ragam hias. Selain berfungsi menghidupkan ruang, aspek dekoratif lukisan Yung Min menggemakan prinsip harmoni struktural dan kultural.
Lukisan Yung Min bercorak semi-abstrak. Figur manusia atau citra realistik lainnya berpadu dengan struktur abstrak yang pelik tapi plastis dan organis, serupa sel yang diperbesar jutaan kali atau alur gelimang minyak pada permukaan air. Struktur abstrak dalam lukisan Yung Min mengingatkan kepada sistem anatomi internal di tingkat mikroskopis dengan jaringannya yang renik dan bercabang-cabang. Gugusan citra abstrak mengalun ritmis-meditatif, menyiratkan pola-pola pengendalian aliran energi fisik maupun psikis.
Karya lukis Yung Min menyingkapkan momen transformatif ketika yang labil menjadi stabil, yang kacau menjadi tertib, chaos menjadi cosmos. Sebuah refleksi dari pencarian harmoni yang terbentang meliputi dunia-luar (outer world) dan dunia-dalam (inner world), alam sekala dan niskala, makrokosmos dan mikrokosmos.
Yasco Kanehira memberi penekanan kuat pada sifat aktif dan seketika dari proses penciptaan lukisan. Proses melukis menjadi simbol eksistensial dari pergulatan Yasco dalam memahami realitas dirinya. Temperamen dan watak sang pelukis, suka-cita dan duka-laranya, terlampiaskan dengan serta-merta pada permukaan kanvas.
Gerak kreatif Yasco berorientasi pada refleksi-diri. Yasco mensublimasikan pengalaman-pengalaman hidupnya yang sangat personal, kemudian meledakkannya dalam keliaran ekspresi visual. Penciptaan lukisan menjadi upaya kontinu untuk melakukan pemaknaan atas segi-segi kehidupan privat sang seniman. Carut-marut bahasa visual Yasco memberi bentuk bagi dinamika konflik batin yang berlangsung di sepanjang proses refleksi-diri. Dunia visual di atas kanvasnya memiliki relasi langsung dengan dunia batin dan pikiran sang seniman yang terus bergolak dan mengalir tanpa henti. Gairah kreatif Yasco diliputi ketegangan antara ekstase petualangan bebas, dan kebutuhan untuk merumuskan petualangan itu menjadi sesuatu yang bermakna.
Gohouen Toshi menampilkan lukisan-lukisan kaligrafi yang ditimba dari pengalaman mistisnya ketika bersentuhan dengan misteri ilahiah. Karya kaligrafi Toshi merefleksikan kontak spiritual antara kreator dan Kreator (dengan K besar), momen-momen mistis peleburan diri sang pelukis ke dalam hakikat Sang Maha Pencipta yang kekal dan universal. Jejak dari kontak spriritual ini kadang digoreskan Toshi dalam satu tarikan nafas yang mantap (“Kyoto Green”, “Primitive Attack”), kadang meletup-letup di ambang sadar (“Karma”), kadang mengalir ritmis dalam nafas panjang (“Incantation”, “Kami”).
Pengalaman mistis termasuk jenis pengetahuan intuitif yang tak dapat dideskripsikan menggunakan bahasa normal. Kaligrafi, dengan kepekaan spesifiknya terhadap simbol, adalah bahasa visual yang berpotensi menyingkapkan secercah dimensi rahasia ilahi yang tak terjangkau nalar. Seni kaligrafi Toshi menembus batas bahasa dalam mengungkapkan pengalaman mistis personal kepada khalayak umum.
judul pameran : neng nong neng pur
seniman : ida bagus alit, sura ardana, gohouen toshi, yasco kanehira, ipphing, yun ming
tempat : hanna artspace
opening : 9 agustus 2009
kurator : arif bagus prasetyo
Oleh Arif Bagus Prasetyo
Pameran “Neng Nong Neng Pur” menampilkan sepilihan lukisan karya Ida Bagus Alit, Sura Ardana, Yung Min, Ipphing, Yasco Kanehira dan Gohouen Toshi. Keenam perupa ini sama-sama tinggal dan berkarya di Bali, tapi masing-masing memiliki latar-belakang kultural yang berbeda. Ida Bagus Alit dan Sura Ardana adalah orang Bali. Yung Min dan Ipphing adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Sedangkan Yasco Kenehira dan Gohouen Toshi berasal dari Jepang.
Enam perupa dengan aneka latar-belakang kultural sepakat memilih ungkapan yang unik, “Neng Nong Neng Pur”, sebagai judul pameran mereka. “Neng Nong Neng Pur” adalah sebuah onomatopoeia yang menirukan bunyi orkestra tradisional gamelan Bali. Dalam sebuah orkestra, keindahan musikal dibangun oleh harmoni unsur-unsur bunyi yang berbeda antara satu sama lain. Beragam alat musik dengan kekhasan bunyinya masing-masing dimainkan secara kolektif dan harmonis, menghasilkan irama yang enak dinikmati.
Demikian pula spirit pameran ini. Pameran “Neng Nong Neng Pur” mengetengahkan karya-karya yang membawakan estetika dan kecenderungan artistik personal masing-masing perupa. Lukisan setiap perupa berlainan dalam hal konsep, tema maupun gaya. Namun mereka dipersatukan oleh semangat kebersamaan yang mengatasi perbedaan. Pameran “Neng Nong Neng Pur” mempromosikan perbedaan sebagai kekuatan yang produktif dan inspiratif. Analog dengan orkestra gamelan Bali, pameran ini ingin mengajak publik untuk mengapresiasi keragaman.
Ida Bagus Alit menampilkan lukisan-lukisan abstrak yang diilhami oleh sarad, sesaji tradisional Bali yang terbuat dari kue-kue besar yang melambangkan isi dunia. Sebagaimana sesaji sarad, kebanyakan lukisan Alit menyemburkan keramaian dinamika warna yang cerah, meriah dan atraktif. Menariknya, sarad justru mempesona Alit ketika sesaji itu sudah tidak utuh lagi bentuknya. Alit tertarik kepada fenomena sarad yang sudah hancur berantakan, tinggal puing-puing berserakan usai upacara keagamaan Hindu-Bali. Diilhami sisa-sisa sesaji sarad, lukisan abstrak Alit menggemakan filosofi tradisional Bali mengenai Rwabhinneda, dialektika prinsip-prinsip yang bertentangan.
Dalam lukisan-lukisan Alit, ada gelombang energi ekspresif yang spontan dan bergejolak. Sifatnya chaotic. Namun di sisi lain, kanvas Alit juga menyuguhkan struktur rupa yang terkontrol. Spontanitas ekspresi diimbangi dengan kecenderungan menghias, meracik pernik ornamentasi. Kecenderungan dekoratif ini tampak pada penggambaran motif-motif atau pola-pola yang berulang dan mengalir, mengisyaratkan suatu tata universal yang mengatasi ketidakteraturan partikular. Sifatnya integratif. Carut-marut elemen rupa membentuk konfigurasi yang padu. Seakan ada daya ritmis yang menstabilkan anasir-anasir kekacauan dalam sinergi harmonis.
Melalui disiplin seni lukis realisme, Sura Ardana menjelajahi gagasan tentang kelapukan. Sejumlah lukisannya mengetengahkan citra kelapukan alami, seperti wajah keriput nenek tua, kerak nasi sisa dan kayu papan lapuk. Namun demikian, Ardana juga tampak memaknai kelapukan pada tataran simbolis. Semacam “kelapukan sosial” tersirat dari subjek utama lukisan yang umumnya merefleksikan dunia masyarakat miskin, kalangan bawah yang melapuk digerogoti beban ekonomi. Kerak nasi sisa adalah makanan pokok rakyat papa yang tidak mampu membeli beras. Raut wajah nenek tua terlihat begitu memelas dan menderita, jelas bukan potret seseorang yang berkecukupan dan menghabiskan hari tua dengan tenang. Fenomena kemiskinan sebagai tanda kelapukan sosial juga ditegaskan dengan menyoroti sandal jepit, objek populer yang biasa diasosiasikan dengan kaum tak berpunya.
Ardana bukan saja menafsirkan kelapukan dalam konteks ruang pengalaman (space of experience), tetapi juga dalam konteks pengalaman ruang (spatial experience). Sejumlah karyanya menampilkan gambaran realitas yang ditinjau dari sudut-pandang vertikal, menyarankan perbedaan posisi antara pengamat dan objek pengamatan. Kadang Ardana memotret pada posisi yang lebih tinggi daripada objek. Ada kalanya ia memotret pada posisi begitu rendah, sehingga lukisan hanya memperlihatkan bagian bawah objek. Ardana seolah menyatakan bahwa fenomena kelapukan, terlebih kelapukan sosial, berhubungan dengan posisi tinggi-rendah atau atas-bawah yang menyiratkan relasi kekuasaan tertentu.
Bahasa visual realisme juga digunakan Ipphing untuk menyampaikan komentar sosial maupun renungan personal. Wacana lukisannya berpusat pada dialektika antara kelampauan dan kekinian. Dialektika ini dielaborasi melalui narasi-narasi visual yang menyiratkan tegangan antara dulu dan sekarang, situasi sebelum atau sesudah.
Dalam karya “Watching”, Ipphing menggambarkan figur anak berpakaian modern yang menyibakkan tirai lukisan tradisional Bali gaya Kamasan. Di sini dialektika kelampauan-kekinian ditampilkan sebagai kontras antara tradisi dan modernitas. Dalam lukisan “Loyalty”, Ipphing mengontraskan citra seekor anjing yang setia kepada dua-sejoli lansia dan deru perubahan yang mengubah wajah kota. Perubahan situasi dulu dan sekarang juga dapat mengakibatkan kebangkrutan dan kemerosotan, sebagaimana tersirat dalam karya “Before Bomb Bali” dan “Fake Budha”. Gerak progresif waktu dengan segala konsekuensinya adalah persoalan penting yang coba dipahami Ipphing melalui pencarian kreatif di ruang spasial.
Seni lukis Yung Min merefleksikan visi pencarian harmoni di balik kompleksitas alam lahir dan batin. Visi ini diekspresikan Yung Min melalui eksplorasi berbagai motif ragam hias. Selain berfungsi menghidupkan ruang, aspek dekoratif lukisan Yung Min menggemakan prinsip harmoni struktural dan kultural.
Lukisan Yung Min bercorak semi-abstrak. Figur manusia atau citra realistik lainnya berpadu dengan struktur abstrak yang pelik tapi plastis dan organis, serupa sel yang diperbesar jutaan kali atau alur gelimang minyak pada permukaan air. Struktur abstrak dalam lukisan Yung Min mengingatkan kepada sistem anatomi internal di tingkat mikroskopis dengan jaringannya yang renik dan bercabang-cabang. Gugusan citra abstrak mengalun ritmis-meditatif, menyiratkan pola-pola pengendalian aliran energi fisik maupun psikis.
Karya lukis Yung Min menyingkapkan momen transformatif ketika yang labil menjadi stabil, yang kacau menjadi tertib, chaos menjadi cosmos. Sebuah refleksi dari pencarian harmoni yang terbentang meliputi dunia-luar (outer world) dan dunia-dalam (inner world), alam sekala dan niskala, makrokosmos dan mikrokosmos.
Yasco Kanehira memberi penekanan kuat pada sifat aktif dan seketika dari proses penciptaan lukisan. Proses melukis menjadi simbol eksistensial dari pergulatan Yasco dalam memahami realitas dirinya. Temperamen dan watak sang pelukis, suka-cita dan duka-laranya, terlampiaskan dengan serta-merta pada permukaan kanvas.
Gerak kreatif Yasco berorientasi pada refleksi-diri. Yasco mensublimasikan pengalaman-pengalaman hidupnya yang sangat personal, kemudian meledakkannya dalam keliaran ekspresi visual. Penciptaan lukisan menjadi upaya kontinu untuk melakukan pemaknaan atas segi-segi kehidupan privat sang seniman. Carut-marut bahasa visual Yasco memberi bentuk bagi dinamika konflik batin yang berlangsung di sepanjang proses refleksi-diri. Dunia visual di atas kanvasnya memiliki relasi langsung dengan dunia batin dan pikiran sang seniman yang terus bergolak dan mengalir tanpa henti. Gairah kreatif Yasco diliputi ketegangan antara ekstase petualangan bebas, dan kebutuhan untuk merumuskan petualangan itu menjadi sesuatu yang bermakna.
Gohouen Toshi menampilkan lukisan-lukisan kaligrafi yang ditimba dari pengalaman mistisnya ketika bersentuhan dengan misteri ilahiah. Karya kaligrafi Toshi merefleksikan kontak spiritual antara kreator dan Kreator (dengan K besar), momen-momen mistis peleburan diri sang pelukis ke dalam hakikat Sang Maha Pencipta yang kekal dan universal. Jejak dari kontak spriritual ini kadang digoreskan Toshi dalam satu tarikan nafas yang mantap (“Kyoto Green”, “Primitive Attack”), kadang meletup-letup di ambang sadar (“Karma”), kadang mengalir ritmis dalam nafas panjang (“Incantation”, “Kami”).
Pengalaman mistis termasuk jenis pengetahuan intuitif yang tak dapat dideskripsikan menggunakan bahasa normal. Kaligrafi, dengan kepekaan spesifiknya terhadap simbol, adalah bahasa visual yang berpotensi menyingkapkan secercah dimensi rahasia ilahi yang tak terjangkau nalar. Seni kaligrafi Toshi menembus batas bahasa dalam mengungkapkan pengalaman mistis personal kepada khalayak umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar