Selasa, 17 November 2009

Art(i)culation

Pameran Seni Rupa


Judul pameran : art[i]culation
Tanggal : 12 Desember 2009 - 12 Januari 2010

Tempat : Hanna Artspace - Bali
Kurator : Arif Bagus Prasetyo




Antonius Kho, White and Black 140 x 140 cm, mixed media on canvas 2009



Pameran seni rupa “Art[i]culation” menampilkan sepilihan lukisan karya para perupa yang memiliki reputasi terpuji. Mereka berasal dari berbagai generasi dan latar kultural-biografis. Tema dan corak karya mereka beragam. Para perupa tersebut dikenal aktif mewarnai panggung seni rupa Indonesia mutakhir.

Pameran ini dirancang untuk menyoroti sejumlah aspek yang menarik dari realitas seni rupa Indonesia kini. Seni rupa kontemporer Indonesia, sebagaimana tercermin dari lukisan-lukisan dalam pameran ini, menunjukkan aneka kecenderungan dan karakteristik. Para pelukis menyuarakan gagasan, rasa dan karsa mereka dengan wahana artistik pilihan masing-masing. Mereka mengeksplorasi imajinasi kreatif dengan berbagai ekspresi.

Namun demikian, kreativitas mereka tetap digerakkan oleh tanggapan dan sikap moral mengenai situasi politik, sosial dan budaya yang dilihat dan dihadapi. Proses kreatif mereka melibatkan pertemuan dan pergulatan kompleks antara faktor internal dan eksternal, rangsang objektif dan subjektif. Hasilnya adalah kreasi artistik yang mencerminkan intuisi personal dan sekaligus latar sosial, politis dan kultural para perupa tersebut. Mereka tidak hanya terpaku pada dunia seni rupa saja, tetapi juga peduli kepada peristiwa dan kecenderungan yang terjadi di tengah masyarakat dan budaya. Hubungan dengan realitas merupakan basis eksplorasi kreatif mereka.

“Art(i)culation” adalah suguhan pameran seni akhir tahun 2009 dari Hanna Artspace sekaligus menyambut harapan dari tahun baru 2010, dengan menampilkan karya-karya dari seniman 5 kota yang menjadi acuan kesenian di Indonesia, diantaranya: Sigit Santosa, Dyan Anggraeni, Gusti Alit, Lulus Santosa, Putu Sutawijaya, Wayan Cahya, Budi Ubrux, Entan Wiharso, Katirin, Nasirun, Ridi Winarno, Syahrizal Koto, Muhamad Rusnoto (Yogyakarta), Teguh Ostentrik, Neneng S. Ferrier, Yani Mariani Sastranegara, Ade Artie Tjakra (Jakarta), Tisna Sanjaya, Diyanto, Tiarma Sirait (Bandung), Ivan Haryanto, Djunaidi Kenyut, Anas Etan, Bilaningsih, Agung Tato (Surabaya), Antonius Kho, I Wayan Kun Adnyana, Nyoman Erawan ,Suklu, Sucipto Adi, Nyoman Sujana Kenyem, Sura Ardana, Bambang Adi Pramono, Nyoman Kardana, Diyano Purwadi, Nyoman Erawan and Ketut Teler (Bali).

Kami berharap event ini akan menjadi semacam happy ending 2009 untuk seluruh insan seni di Indonesia, sekaligus akan menjadi inspirator bagi pegelaran kesenian lainnya dikemudian hari.

Sukses untuk seni dan budaya Indonesia.

Arif B Prasetyo



Kun Adnyana, The Order Parlements, mix media on canvas, 2009


The “Art[i]culation” Art Exhibition presents the paintings by selected Indonesian contemporary artists. The artists participated in the exhibition belong to different generations of Indonesian artists who is actively coloring Indonesian art scene today.

Indonesian contemporary art, which is represented in this exhibition by paintings, shows various tendencies and characteristics. The painters articulate their ideas and concerns with any artistic tools they prefer to use. They explore their creative imagination in various mode of expression as different as the painstakingly realistic to the gestural abstraction. They raise loudly their engaging voices or submerge silently into the depth of their psyche.


Diyano Purwadi, sexy, 145 x 180 cm,acrylic drawing pen on canvas 2009

Nevertheless, their creativity is moved by moral responses and attitudes concerning social, political and cultural situations that are seen and faced. Their creative process involves complex encounters and struggles between internal and external factors, objective and subjective stimulus. The result is artistic creations that reflect the personal intuition of the artists as well as their geosocial, geopolitical and geocultural background.

“Art(i)culation” is an end year 2009 art exhibition from Hanna Artspace which by the same time dedicated to welcome prosperous hope of the coming year 2010, presenting works of artists from 5 major city who have been becoming art icon in Indonesia, namely: Sigit Santosa, Dyan Anggraeni, Gusti Alit, Lulus Santosa, Putu Sutawijaya, Wayan Cahya, Budi Ubrux, Entan Wiharso, Katirin, Nasirun, Ridi Winarno, Syahrizal Koto, Muhamad Rusnoto (Yogyakarta), Teguh Ostentrik, Neneng S. Ferrier, Yani Mariani Sastranegara, Ade Artie Tjakra (Jakarta), Tisna Sanjaya, Diyanto, Tiarma Sirait (Bandung), Ivan Haryanto, Djunaidi Kenyut, Anas Etan, Bilaningsih, Agung Tato (Surabaya), Antonius Kho, I Wayan Kun Adnyana,Nyoman Erawan, Suklu, Sucipto Adi, Nyoman Sujana Kenyem, Sura Ardana, Bambang Adi Pramono, Nyoman Kardana, Diyano Purwadi, Nyoman Erawan dan Ketut Teler (Bali).

After all, we expect that this exhibition could be a happy ending of 2009 to all Indonesian art communities and will bring up inspiration to the next coming art event.
Bravo…to Indonesian Art and Culture.

Arif B Prasetyo

Sabtu, 07 November 2009

KRONIK DUNIA BARU













KRONIK DUNIA BARU

Group Exhibition
Artist :Tatang BSp, Putu Gede Djaya, Made Somadita, Ketut Jaya (Kaprus)
Date : 15 – 28 November 2009
Venue : Hanna Artspace, Pengosekan, Ubud - Bali

Oleh Arif Bagus Prasetyo


SYAHDAN, modernitas menjanjikan Dunia Baru. Di dalam dunia itu, manusia dibayangkan sebagai pusat: subjek rasional yang merdeka untuk menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria kehidupannya di dunia. Dunia Baru menawarkan humanisme universal yang mengakhiri kegelapan jahiliyah dengan cahaya benderang akal-budi (reason).
Melalui ilmu pengetahuan, akal-budi membebaskan manusia dari penjara mitos, wahyu, maupun mekanisme kekuatan alam yang menguasai Dunia Lama. Akal-budi mengangkat manusia jadi Tuan, subjek yang merdeka dan berkuasa, satu-satunya spesies unggul yang sepenuhnya mampu menentukan diri (self-determination) dan menegakkan diri (self-affirmation) di dunia. Di Dunia Baru, manusia, dengan segala kemampuan rasionalnya, menahbiskan dirinya sendiri menjadi aku-subjek yang sentral dalam pemecahan masalah dunia, subjek otonom yang mengukir sejarahnya sendiri dengan tinta emas di lembaran Kitab Semesta. Dalam wawasan humanisme-rasional Dunia Baru, rasionalitas dijadikan ukuran tunggal kebenaran yang akan mewujudkan mimpi utopis manusia sebagaimana dijanjikan modernitas.
Modernitas diklaim sebagai rasionalitas jalan sejarah yang melesat lurus, atas nama kemajuan, ke “surga impian” di masa depan: tanah kebebasan manusia dan kemanusiaan yang bebas. Inilah Dunia Baru yang hendak diraih melalui proyek emansipasi universal, proyek pembebasan manusia dari belenggu irasionalitas. Namun ironisnya, seiring perjalanan waktu, realitas justru menunjukkan bahwa proyek emansipasi universal itu ternyata prospeknya semakin suram.
Ketimbang mewujudkan momen “turunnya surga di bumi” sebagaimana yang dijanjikannya, Modernitas justru kian mengalami apa yang digambarkan Jean-Francois Lyotard sebagai situasi “defaillancy”: kegagalan Modernitas untuk memenuhi janjinya. Aneka kejahatan kemanusiaan, terorisme dan krisis ekonomi, contohnya, adalah narasi-narasi realitas yang terus-menerus menyangkal keabsahan narasi emansipasi universal Modernitas yang mendewakan rasio.
Modernitas menjanjikan Dunia Baru yang cerah kepada manusia, tapi di balik janji itu, ada begitu banyak risiko yang dapat menjerumuskan manusia ke neraka kenistaan dan kehancuran. Inilah paradoks Modernitas: paradoks antara rasional dan irasional, kemajuan dan pengorbanan, ilusi dan realitas. Sebagaimana dikatakan Marshall Berman, “Menjadi modern berarti menemukan diri kita dalam lingkungan yang menjanjikan pengembaraan, kekuasaan, kesenangan, pertumbuhan, transformasi diri kita dan dunia kita – dan bersamaan dengan itu, ancaman untuk menghancurkan semua yang kita miliki, semua yang kita tahu, semua kita.”
Paradoks modernitas digambarkan dengan bahasa parodi oleh Tatang BSp. Dilihat dari ciri-ciri luarnya, figur-figur dalam lukisan Tatang adalah sosok manusia modern yang terpelajar, dari kalangan kelas-menengah urban. Mereka berpenampilan rapi, necis, berjas dan berdasi. Namun ironisnya, manusia-manusia modern yang mestinya memuliakan rasionalitas itu justru berperilaku irasional. Tingkah-laku mereka begitu aneh, sulit dipahami, tak mencerminkan berfungsinya akal-waras. Sebagai manusia modern, mereka adalah warga Dunia Baru yang “menjanjikan pengembaraan, kekuasaan, kesenangan, pertumbuhan, transformasi”. Tapi pada kanvas Tatang, dunia mereka ternyata sebuah dunia absurd yang menebarkan irasionalitas, bahkan kegilaan.
Dengan nada humor yang penuh sentilan kritis, karya-karya Tatang meledek doktrin rasionalitas yang dijunjung tinggi-tinggi oleh manusia modern. Tatang bahkan terkesan seperti tak percaya lagi bahwa proses-proses kehidupan masyarakat modern berjalan lurus mengikuti garis rasio. Simbolisme Tatang menyarankan skeptisisme ini. Segala kesibukan yang digeluti para manusia modern di kanvas Tatang, seolah tak terhindarkan lagi, meluncur fatal ke situasi irasional yang tak bermakna: dagelan politik praktis (“Selamat Pagi”), sirkus liberalisme ekonomi (“Greetings from Indoneolib”), pasar malam masyarakat konsumen (“Negeri Etalase”).
Modernitas menjanjikan emansipasi, tapi pada kenyataannya, emansipasi seringkali hanya slogan yang menopengi praktik dominasi. Pada masa kolonial, paham humanisme-rasional universal dijadikan dalih oleh bangsa kulit putih untuk menjajah bangsa kulit berwarna yang dianggap biadab, liar, setara dengan binatang. Bangsa kulit berwarna yang dianggap inferior harus ditaklukkan dan dibina menjadi warga beradab Dunia Baru oleh bangsa kulit putih yang merasa superior.
Pada era kontemporer dewasa ini, penjajahan bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit berwarna memang telah berakhir, tapi mitos superioritas kulit putih masih berlanjut. Kolonialisme fisik digantikan oleh kolonialisme kultural. Dengan supremasi politik dan ekonomi yang digenggamnya di panggung global, negara maju kerap “memaksakan” kriteria dan kepentingannya kepada negara berkembang, antara lain melalui politik-budaya yang didukung jaringan kapitalisme global. Bangsa kulit berwarna seolah baru sah menjadi warga Dunia Baru yang beradab jika mengadopsi selera, etika dan kemauan bangsa kulit putih. Dominasi inilah yang digugat oleh Putu Gede Djaya.
Dengan bahasa parodi bergaya komik, karya-karya mutakhir PG Djaya mempersoalkan praktik-praktik dominasi dan kekerasan terselubung yang berakar pada kecenderungan logosentrisme dalam tradisi filsafat metafisika Barat. Kecenderungan logosentrisme ini ditandai oleh beroperasinya logika oposisi biner: logika sosial, politik, ekonomi dan budaya yang dibangun oleh pasangan konsep yang berseberangan (pria/wanita, putih/hitam, Barat/Timur, modern/tradisional dst). Logika oposisi biner seringkali digunakan sebagai alat mempertahankan status quo kekuasaan. Dalam logika ini, konsep pertama dianggap sebagai pusat dan bernilai tinggi, sementara konsep kedua di seberangnya dipandang sebagai pinggiran dan bernilai rendah. Maka putih lebih bagus daripada hitam, pria lebih unggul daripada wanita, Barat lebih benar daripada Timur, modern lebih keren daripada tradisional dst.
Dalam lukisan “Haruskah”, PG Djaya mengkritik dominasi citra kecantikan wanita kulit putih terhadap wanita kulit hitam/berwarna. Figur wanita Bali yang bergumam “Haruskah aku pakai softlens untuk bisa maen film” menyentil prasangka kultural yang mengistimewakan ciri-ciri fisik wanita Barat (mata biru, kulit putih, rambut pirang) sebagai standar kecantikan universal. Sementara itu, lukisan “Ada Apa dengan Le Mayeur” menggugat dominasi ganda: dominasi pria terhadap wanita, sekaligus dominasi Barat terhadap Timur. Digambarkan figur Ni Polok, wanita Bali yang diperistri pelukis bule legendaris Le Mayeur, sedang memrotes keputusan suaminya yang melarangnya punya anak. Mayeur khawatir Polok akan kehilangan kecantikannya setelah melahirkan anak, sehingga tak bisa dipamerkan sebagai objek tontonan eksotis Timur kepada para turis Barat yang datang berkunjung.
Kisah ironis tentang Dunia Baru yang dijanjikan Modernitas, dituturkan secara simbolis oleh Made Somadita. Binatang-binatang dalam lukisan Somadita telah mengalami “emansipasi”, terbebas dari kegelapan rimba-belantara, dan menjadi warga sebuah Dunia Baru yang menyediakan status lebih tinggi. Para satwa itu mengenal bola, bahkan bisa bermain bola seperti layaknya manusia. Mereka dapat dibaca sebagai metafora tentang manusia modern yang beremansipasi dari kondisi biadab ke kondisi beradab. Namun demikian, mereka ternyata tak bisa lepas dari watak kebinatangan yang penuh kekerasan dan kebuasan. Taring, cakar dan tanduk yang tajam dan mematikan masih menjadi senjata utama untuk mengalahkan lawan atau pesaing. Fabel-fabel Somadita menyindir perilaku manusia modern penghuni Dunia Baru yang terperangkap oleh luapan hasratnya sendiri. Agresivitas mereka bukan didasari kebutuhan mempertahankan hidup, seperti margasatwa di hutan, melainkan didorong oleh gairah permainan, pencarian kesenangan dan kepuasan belaka.
Akhirnya, arus luapan hasrat yang menyapu dan menihilkan eksistensi manusia modern dilukiskan secara dramatis oleh Ketut Jaya. Dalam lukisan-lukisan Jaya, figur-figur tampak kehilangan bentuk, bercampur dengan katup-katup, pipa-pipa, tabung-tabung mirip moncong vacuum cleaner yang menyedot atau knalpot yang menyembur. Integritas manusia seakan porak-poranda diterjang gejolak energi purbawi yang meledak-ledak. Manusia bukan lagi pusat yang menerangi dunia dengan cahaya akal-budi, karena rasio telah ditelan oleh libido: lautan energi psikis yang memompa hasrat tanpa henti. Kanvas Jaya mementaskan ironi Dunia Baru di mana manusia takluk total di bawah kekuasaan hasrat dan tenggelam dalam setiap rangsangannya. Sebuah dunia reproduksi hasrat yang tak pernah terpuaskan dan tak pernah ada akhirnya.

Pengikut