Minggu, 22 Agustus 2010

VISUAL SPA

Seni Fotografi Stephan Max Reinhold

SIMFONI SETETES AIR

Oleh Arif Bagus Prasetyo


Apa yang kita lihat pada karya fotografi Stephan Max Reinhold? Kita melihat subjek yang begitu sederhana: tetes air yang jatuh pada permukaan air. Tetapi bukan hanya itu. Kita melihat bentuk serupa mahkota yang indah. Manik-manik berkilauan mengambang anggun pada hamparan selembut puding. Kawah dan menara pada lanskap planet asing. Konstelasi benda-benda langit dalam pelukan galaksi hening sebening kristal. Kita melihat irama garis, tekstur, dan warna yang bernyanyi tentang semesta ajaib dan misterius. Di hadapan karya fotografi Reinhold, mata kita dibuai pesona musik tanpa suara, lalu perlahan-lahan diri kita luruh dan terbang ke angkasa imajinasi.

Citra fotografis, kata Roland Barthes, adalah analogon: tiruan, salinan yang sempurna dari kenyataan. Inilah yang umumnya diterima orang sebagai kekhasan dan sekaligus kekuatan foto. Kita percaya kepada foto, karena fotografi merepresentasikan dunia secara objektif, telanjang apa adanya. Hubungan antara foto karya Reinhold dan tetes air yang dipotret adalah bagaikan gula dan rasa manisnya. Objektivitas fotografi inilah yang membuat selembar foto bisa menjadi barang bukti yang meyakinkan.

Tentu saja foto bisa dimanipulasi untuk menampilkan kebohongan. Tetapi itu hanya terjadi dalam kasus penipuan. Pada dasarnya, fotografi hanya merekam kenyataan yang dilihat bukan oleh manusia yang bisa bohong, tetapi oleh benda mati yang tak punya pikiran sendiri: kamera. Karena itu orang cenderung lebih percaya kepada citra realitas yang ditampilkan oleh foto ketimbang lukisan, misalnya.

Seni fotografi Reinhold bertumpu pada kesempurnaan analogis foto sebagai medium yang memantulkan kenyataan secara objektif. Pada awalnya Reinhold terpesona kepada butir-butir air hujan yang menetes pada kolam, peristiwa yang begitu remeh dan sangat biasa dalam pengalaman sehari-hari. Momen inspiratif “air menetes pada air” itu kemudian direkonstruksi dalam studio kamar gelap, dan dipotret dengan kamera digital canggih. Hasilnya sungguh mencengangkan: foto-foto pemandangan ajaib yang melampaui pengalaman visual sehari-hari. Mata kita seakan dibuat tak percaya bahwa gambar-gambar yang ditampilkan dalam pameran ini adalah foto, imitasi sempurna kenyataan, bukan lukisan atau hasil manipulasi komputer grafis.

Reinhold setia menjaga watak objektif fotografi. Citra digital hasil jepretan kameranya dirapikan dengan Photoshop, tetapi tidak diubah atau dipoles. Kalau pun ada semacam “manipulasi”, itu dilakukan Reinhold pada tahap pra-pemotretan. Untuk mencari efek warna dan tekstur, ia menaruh berbagai benda yang bayangannya membias pada zat cair yang dipotret. Zat cair itu sendiri biasanya air putih, tapi kadang ia ganti dengan susu, pewarna makanan, minyak, air sabun, atau cat.

Karya fotografi Reinhold merawat hubungan dengan realitas objektif, namun serentak dengan itu mempersoalkan batas-batas kemampuan indera dan nalar kognitif dalam mempersepsi realitas objektif. Secara paradoksal, karya Reinhold menampilkan kenyataan yang ilusif. Berbagai citra fotografis itu mengundang kita untuk melihat momen aktual realitas, tapi sekaligus menyuruh kita untuk meragukan penglihatan kita sendiri. Kita seolah dilemparkan ke wilayah ambang antara kenyataan dan ilusi. Di tangan Reinhold, foto bukan lagi sekadar arsip pasif tentang peristiwa yang telah terjadi, kenyataan yang sudah hilang. Foto berubah aktif menjadi semacam panggilan untuk menyingkapkan kenyataan-kenyataan baru yang lebih menakjubkan.

Salah satu “sihir fotografi” adalah kemampuan fotografi dalam menghadirkan citra realitas yang lebih indah, lebih memukau, daripada kenyataan aslinya. Kemampuan inilah yang dieksploitasi dan dijual oleh, antara lain, fotografi salon. Reinhold juga tampak menyadari “sihir fotografi” ini. Kekuatan karyanya bertumpu pada keajaiban visual yang diciptakan dengan mengeksploitasi teknologi kamera yang mampu menangkap momen yang berlangsung sekejap mata.

Dengan kemampuan mencacah sekuens-sekuens peristiwa hingga hitungan sepersekian detik, mata kamera Reinhold membongkar batas-batas realitas objektif dalam pengalaman normal sehari-hari, dan menghadirkan kenyataan-kenyataan yang tak terjangkau oleh mata telanjang. Jika fotografi ibarat cermin yang menggandakan realitas, maka fotografi Reinhold adalah cermin bertuah: cermin yang menciptakan kenyataan baru, memunculkan dunia lain yang lebih fantastis daripada dunia semula di luar cermin.

Fotografi Reinhold mengekstremkan kemampuan kamera dalam menghentikan waktu. Dalam karya-karya Reinhold, waktu bukan saja tampak membeku, tetapi juga terurai, terhampar menyingkapkan kenyataan yang sulit dilihat dan disadari dalam aliran waktu. Momen-momen tetesan air dalam karyanya adalah elemen-elemen realitas yang hanyut ditelan arus waktu dan hilang untuk selamanya, tanpa pernah sempat memasuki kesadaran optis kita. Fotografi Reinhold menyelamatkan keping-keping realitas yang begitu ringkih ini dari keganasan taring waktu yang memangsa segalanya, dan mengangkatnya menjadi citra utuh penuh pesona.

Di dunia nyata, waktu adalah tuan yang kejam. Di dunia fotografi Reinhold, waktu adalah hamba yang setia. Reinhold memperlakukan waktu, kekuatan mahaperkasa yang akan menghancurkan alam semesta, sebagai kuda tunggangan untuk bergerak mengubah kenyataan banal dan trivial menjadi kenyataan baru yang bermakna. Ia menunggangi waktu untuk meniupkan ruh pada setetes air. Fotografinya mengubah riak dan kecipak menjadi seni: kesementaraan yang menggapai keabadian.

Tetapi selain membekukan dan menguraikan waktu, fotografi Reinhold menyediakan jalan bagi kita untuk mengalami waktu secara subjektif dan personal. Berbeda dari waktu objektif yang terbaca pada jam, waktu subjektif berdetak dalam diri, dan karya fotografi Reinhold memicu detak waktu personal ini. Mula-mula karya Reinhold menghadirkan waktu objektif yang membeku dan terurai: kita melihat garis, tekstur dan warna zat cair pada saat tertentu. Mata kita menangkap momen aktual yang terjadi pada satu segmen waktu objektif yang dapat diukur dengan timer.

Namun kemudian, perlahan-lahan, citra fotografis pada karya Reinhold melepaskan diri dari referensi kenyataan. Kita tidak lagi merasa perlu berpegang pada informasi tentang apa yang kita lihat pada foto, melainkan hanyut mengikuti tegangan dramatik visualnya dan irama kesadaran kita sendiri. Garis, tekstur dan warna tidak lagi menceritakan realitas zat cair yang dipotret, tetapi bangkit menuturkan kisahnya sendiri. Saat itulah kita mengalami waktu sebagai subjektivitas. Mata kita terbuka memandang foto, tapi kita seolah terpejam melayang di langit imajinasi, menyimak simfoni dari getaran sensasi optis.

Karya fotografi Reinhold mengajak kita untuk menari di bawah guyuran waktu murni.

Pengikut