Seni Patung Bambang Adi Pramono
SETELAH TIGA DASAWARSA
Oleh Arif Bagus Prasetyo
BAMBANG Adi Pramono adalah perupa kelahiran Sidoarjo, Jawa Timur, 1955, yang telah lebih dari dua puluh tahun bermukim di
Sebagaimana dimaklumkan oleh judulnya, Pameran “Reborn” seolah menandai kelahiran kembali Bambang sebagai insan kreatif. Betapa tidak. Setelah absen sejak 2004, baru tahun kemarin karya patung Bambang kembali tampil di sejumlah pameran bersama. Untuk pameran tunggal, masa absen Bambang bahkan lebih lama. Pameran tunggal perdananya berlangsung pada 1981, hampir tiga dasawarsa silam. Baru sekarang ia berpameran tunggal lagi.
Tak syak lagi, kesibukan Bambang melayani permintaan pihak lain selama bertahun-tahun membuatnya tidak punya banyak kesempatan menciptakan karya-karya idealis yang semata-mata mengejar visi kreatif personal, sehingga ia harus ambil cuti panjang dari ruang pameran. Bekerja sebagai desainer maupun pematung dalam berbagai proyek pesanan, Bambang tentu tak bisa sepenuhnya bebas berkreasi.
Pameran “Reborn” mengetengahkan karya-karya patung mutakhir Bambang yang, tentu saja, diciptakan sebagai ekspresi kreatif murni. Tanpa dibebani misi dan persyaratan yang dipatok pihak lain, Bambang mengejar misinya sendiri sebagai seorang seniman patung yang berkuasa menentukan syarat-syaratnya sendiri. Ia leluasa mengarungi langit imajinasi untuk memburu ilham kreatif, bergumul dengan konsep dan gagasan ideal, merumuskannya dalam rancang-bangun yang bebas dari agenda pragmatis, mewujudkannya sesuai standar kualifikasi yang ditetapkan sendiri, bahkan terjun langsung dalam proses produksi yang tak jarang melibatkan eksperimentasi.
Tak heran, karya-karya Bambang dalam pameran ini memancarkan semangat eksplorasi yang didorong oleh energi kreatif yang mengalir deras. Daya cipta yang terbendung selama tiga puluh tahun terakhir seolah menemukan kanal-kanal pelepasan kreatif, dan menubuh dalam bahasa artistik trimatra yang kaya makna dan ungkapan. Bambang bergulat dengan aneka pemikiran dan rangsang intuisi kreatif, lalu memahat kayu atau menempa logam, dua bahan utama karya patungnya.
Sebagian besar proses produksi karya memang dikerjakan oleh tangan Bambang sendiri, termasuk untuk patung-patung berbahan logam. Bambang mengaku sangat menikmati kerja fisik yang cukup berat dalam penciptaan patungnya, misalnya menempa logam atau mengolah permukaan logam, sampai ia puas dengan hasil akhirnya. Dalam proses kerja ini ia tidak sekadar membangun suatu konstruksi, melainkan juga bereksperimen, menjajal kemungkinan-kemungkinan yang muncul, menemukan efek-efek tak terduga yang berbeda antara satu patung dan patung lain. Sebuah proses yang tentu menambah nilai otentik dan eksklusif pada karyanya. Bambang terlahir kembali sebagai kreator yang mencipta, bergerak mewujudkan kreasi pribadi dan otonom, di tingkat konseptual maupun praksis. Reborn.
Bambang berkarya dengan menggunakan material konvensional: logam dan kayu. Namun bahan-bahan konvensional itu digarapnya secara kreatif, justru untuk menghadirkan ekspresi yang inkonvensional. Karya-karya mutakhir Bambang menyiratkan suatu idealisme untuk mereformasi citra populer tentang seni patung, dan lebih jauh lagi, meredefinisi hakikat patung. Sejumlah patung yang dipamerkan tampak menantang persepsi umum tentang apa yang lazimnya disebut sebagai “patung”. Lihatlah, misalnya, patung berwujud seonggok tangan yang terputus pada lengan (“Dejected”), lilitan bilah silindris aluminium (“Life Begins”), atau imitasi sepotong bagian berukir dari rangka rumah tradisional Jawa (“Heritage”). Bahwa patung tidak mesti berdiri atau berbaring, tapi bisa juga melayang atau menggelantung (“Dragon Mouth”, “Hanging Nest”). Bambang terkesan mengupayakan hadirnya suatu struktur, proporsi dan energi ekspresif yang baru. Ia menjelajahi kemungkinan-kemungkinan ekspresif baru yang mampu menempung kegelisahan kreatifnya sebagai seniman patung kontemporer. Dengan kepekaan artistik dan kekuatan gagasan yang dimilikinya, Bambang memperluas pengertian tentang “patung”.
Dalam karya-karya mutakhir Bambang, prinsip kestabilan desain, yang biasa melekat pada konstruksi monumen atau patung konvensional, seringkali digantikan dengan pencarian suatu kesetimbangan baru yang rawan.
Dalam mengonstruksi patung, Bambang tak segan-segan menangani ruang kosong sebagai elemen yang sama pentingnya dengan volume. Ruang sekitar dapat menembus atau meresapi
Salah satu daya-tarik karya patung Bambang terletak pada tegangan dinamis antara unsur formal dan unsur diskursif, aspek stilistik dan aspek tematik, wujud dan pesan. Di sini gagasan berperan sangat penting, baik gagasan di ranah rupa maupun di ranah wacana. Hampir semua karya Bambang mengusung tema tertentu yang digali dari pengamatan dan pemikirannya tentang berbagi fenomena alam dan kebudayaan. Dalam niat kreatif Bambang, kayu atau logam nyaris tidak pernah berhenti sebatas wahana ekspresi murni, sarana manifestasi keindahan ideal belaka. Hampir selalu ada “narasi” di balik bentuk-bentuk artistik trimatra kreasi Bambang. Namun demikian, “narasi” ini tidak selalu transparan, bahkan kadang tidak terbaca secara visual, karena kuatnya interupsi pertimbangan-pertimbangan artistik formal.
Ambil contoh karya “Reach It” dan “Life Begins”. Tanpa membaca judul, pemirsa kemungkinan besar akan sulit menangkap pesan kehidupan yang ingin disampaikan Bambang dalam kedua patung itu, dan mungkin hanya memaknainya sebagai bentuk-bentuk patung abstrak eksperimental. Contoh lain, pada karya “The Muscle”, “narasi” bahwa patung ini diilhami oleh serat-serat otot (sebuah gagasan yang orisinal!) menjadi kurang berarti dibanding efek artistik yang muncul dari alunan ritme permukaan dan logika visual formal. Sementara pada karya “Torso”, citra tubuh manusia seakan lebur dalam sensasi gerak dari resonansi antara gelombang permukaan kayu dan riak-riak tekstur kayu. Patung berbentuk manusia ini jelas tidak mengangkat isu kemanusiaan.
Dalam karya-karya Bambang, gagasan di ranah rupa tampak cenderung lebih dominan daripada gagasan di ranah wacana. Tapi bukan berarti Bambang kurang memiliki perhatian terhadap isu-isu di luar persoalan rupa. Sejumlah karyanya yang menampilkan mimesis alam (misalnya patung berbentuk tumbuhan, pohon atau sarang burung) mengungkapkan pesan ekologis yang kuat. Kepekaan sosial tentang zaman yang kian akrab dengan kekerasan dan kekacauan diungkapkan secara simbolis dan dramatis dalam karya “Kekayon II: Rhythm in Chaos”; sementara karya “Heritage” menyuarakan keprihatinan tentang ancaman kepunahan warisan budaya tradisional. Kritik terhadap seksualitas pada zaman kontemporer, ketika seks telah terhalau dari ruang sakral dan bisa dinikmati dengan enteng bak hidangan pencuci mulut, disampaikan dengan nada humor dalam karya “Dessert”. Kekuatan gagasan Bambang di ranah rupa memberikan perspektif segar dan aksentuasi unik pada gagasannya di ranah wacana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar